Deteksi Tuberkulosis Berbasis Teknologi AI

Deteksi Tuberkulosis Berbasis Teknologi AI

Ilustrasi penyakit tuberkulosis (TBC).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Teknologi AI

Sejumlah peneliti kesehatan di Amerika Serikat (AS) telah mengembangkan teknologi berbasis AI untuk meredam persebaran penyakit TBC. Tujuan penciptaan teknologi berbasis AI itu ialah mengidentifikasi TBC sesuai hasil pemeriksaan dengan menggunakan rontgen toraks/dada. 

Hasil riset pengembangan teknologi berbasis AI membantu skrining dan evaluasi di daerah berprevalensi TBC tinggi, tetapi akses ke dokter radiologi dan layanan kesehatan sangat terbatas. 

Ketiadaan akses pelayanan atau dokter menyebabkan hasil pemeriksaan rontgen tak dapat segera diketahui. 

Teknologi berbasis AI untuk penanggulangan TBC digadang mampu mengatasi keterbatasan jumlah dokter dan akses ke layanan kesehatan. Fungsi teknologi berbasis AI adalah serupa dengan fungsi dokter, yakni menafsirkan hasil radiografi terhadap potensi TBC. Hasilnya dapat diperoleh lebih cepat sehingga segera dapat dilakukan tindakan.

Penelitian teknologi kesehatan di AS tersebut dilakukan secara masif dengan melibatkan 1.007 hasil pemeriksaan rontgen pasien, baik dengan maupun tanpa dugaan adanya potensi TBC aktif. Ribuan sampel penelitian itu diharapkan menghasilkan data yang lebih valid dan reliable

Hasil pemeriksaan rontgen menunjukkan data berupa kecenderungan kasus yang terdiri atas beberapa kumpulan data rontgen dada. Kumpulan data pemeriksaan rontgen itu berasal dari Institut Kesehatan Nasional, Portal Tuberkulosis di Belarus, dan Rumah Sakit Universitas Thomas Jefferson.

Berdasar uji coba, selain menghemat biaya pemeriksaan, pemanfaatan teknologi AI mampu memperluas jangkauan pasien hingga ke pelosok daerah dengan akses terbatas. Identifikasi dan pengobatan penderita dapat dilakukan lebih dini. Metode deteksi berbasis AI cocok digunakan untuk negara berkembang, termasuk Indonesia.

Uji coba yang dilakukan di AS menggunakan dua model AI, yakni AlexNet dan GoogLeNet dengan deep learning yang dirancang untuk mempelajari hasil pemeriksaan rontgen TB-positif maupun TB-negatif. Untuk mencapai akurasi, dua model AI diuji  dengan menangani 150 kasus.

Hasil uji coba menunjukkan kedua model AI masing-masing diperoleh hasil berbeda dalam 13 dari 150 kasus. Untuk memastikan akurasi, peneliti melibatkan ahli radiologi yang mampu menginterpretasikan hasil berupa gambar dan mendiagnosis 100 persen kasus secara akurat.

Berdasar langkah uji penggunaan tersebut, diperoleh hasil model AI yang berkinerja terbaik justru melalui kombinasi AlexNet dan GoogLeNet dengan akurasi mencapai 99 persen. Jadi, kedua model AI harus dikombinasikan  untuk mencapai hasil pemeriksaan lebih akurat. 

Akurasi hasil pemeriksaan yang tinggi merupakan dasar bagi dokter dalam menerapkan AI untuk mendeteksi penyakit TBC. Karena itu, makin banyak rumah sakit di AS dalam lima tahun terakhir yang telah mengadopsi teknologi kesehatan berbasis AI. 

Dengan teknologi AI, masyarakat internasional berharap agar epidemi TBC dapat diakhiri hingga tahun 2030. Alasan pemilihan tahun 2030 merujuk pada salah satu target kesehatan dalam sustainable development goals (SDGs).

Pemerintah perlu menyusun dan menetapkan teknologi yang paling mungkin digunakan untuk mengatasi penyakit TBC di Indonesia. Pemerintah dapat berinisiasi secara kreatif dengan memanfaatkan teknologi berbasis AI untuk mendeteksi lebih dini potensi penderita penyakit TBC.

Distribusi para ahli atau dokter radiologi perlu diatur lebih merata. Konfigurasi manusia berkeahlian dan teknologi AI merupakan kombinasi efektif dalam mengatasi masalah kesehatan. (*) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: