Membaca Gerak Para Ibu (Perempuan) Indonesia

Membaca Gerak Para Ibu (Perempuan) Indonesia

Ilustrasi Dian Sastrowardoyo di film Gadis Kretek. Dia mencerminkan para ibu (perempuan) Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

TULISAN ini sejatinya bermula dari cerita film yang beberapa bulan terakhir di tahun 2023 sempat menjadi sangat viral sekaligus menjadi perbincangan hangat di berbagai jagat media sosial

Film yang diambil dari karya novel milik Ratih Kumala berjudul Gadis Kretek itu bisa dianggap sebuah film yang luar biasa. Film dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Ario Bayu.

Bukan hanya isu perempuan yang menjadi perhatian, melainkan ada pula pesan penting yang ingin disampaikan dalam film itu. Yakni, mengenai kedudukan, partisipasi, ataupun keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan.

BACA JUGA: Ini Perbedaan Antara Hari Ibu dan International Mother’s Day, Bukan Hanya Soal Tanggal

Adalah hal yang masih sulit dihindari hingga saat ini, dan dengan jelas rupanya juga tampak ada dalam beberapa tangkapan scene dari film ini saat Jeng Yah (Dasiyah) yang diperankan Dian Sastrowardoyo saat merasa marah dan kecewa dengan keputusan ayahnya, Idroes. 

Idores memberikan jabatan mandor, jabatan tertinggi dalam perusahaan pabrik rokok keretek milik ayah Jeng Yah, kepada seorang pemuda yang baru saja masuk lingkungan pabrik. 

Kekecewaan kedua Jeng Yah adalah tidak diperbolehkannya mengubah rasa rokok keretek dari pabrik milik ayahnya sendiri meski dirinya sangat paham betul mengenai rasa atau aroma rokok keretek yang bermutu dan berkualitas. 

BACA JUGA: Diperingati Setiap 22 Desember, Yuk Simak Sejarah Hari Ibu di Indonesia

Namun, tampaknya penguasaan atau pemahaman yang dimiliki Jeng Yah masih dianggap tabu, tidak baik bagi perempuan mencampuri dan mengetahui resep aroma rokok keretek. Mengingat, rokok adalah simbol maskulinitas. 

Setting film yang dibuat dengan berlatar belakang tahun 1960-an rupanya juga belum mampu menghadirkan dan mengubah representasi maupun persepsi baru mengenai perempuan. 

Perempuan tetap saja masih digambarkan hanya sebagai sosok yang lemah, tak berdaya, hingga hanya sebagai objek pelengkap penderita. Padahal, sudah hampir dari setengah abad semenjak RA Kartini mengeluarkan ide dan gagasan mengenai gerakan emansipasinya. 

BACA JUGA: Sambut Hari Ibu, Ini 7 Rekomendasi Kado buat Bunda dari yang Murah Sampai Pricey

Namun, sepertinya itu tidak pernah memberikan ruang gerak yang bebas kepada perempuan Indonesia. Subordinasi perempuan rupanya tetap masih menjadi sebuah praktik yang tampaknya (bisa jadi) mesti harus terus dilanggengkan tanpa memandang dan menghiraukan adanya batas waktu maupun zaman.    

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: