Membaca Gerak Para Ibu (Perempuan) Indonesia

Membaca Gerak Para Ibu (Perempuan) Indonesia

Ilustrasi Dian Sastrowardoyo di film Gadis Kretek. Dia mencerminkan para ibu (perempuan) Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Perempuan Bergerak, Perempuan Berdaya?

Membaca isu lahirnya berbagai organisasi pergerakan perempuan Indonesia di awal periode 1900-an boleh jadi menjadi penanda sekaligus angin segar bagi sebagian besar perempuan. 

Meski, dalam praktiknya, misi pergerakan lebih hanya berkutat pada isu-isu domestik, mulai perkawinan hingga kehidupan keluarga. Meski demikian, apa boleh dikata, isu ini tampaknya yang menjadi isu atau bahasan menarik dari gerakan perempuan di masa kini. 

Dari organisasi Putri Mahardika, Kautamaan Isteri-Sunda, hingga Pawijatan Wanito-Magelang, (Cora Vreede Steurs, 2008, 86-89). Tidak banyak rasanya isu besar yang mereka jadikan sebagai isu utama, bahkan seolah apa yang mereka sedang perjuangkan adalah bagian apresiasi mereka terhadap kehidupan kelompok perempuan saat itu. 

Bahkan, hingga kongres perempuan pertama pun, pada 22–28 Desember 1928, isu seputar sosial-domestik merupakan isu yang paling menonjol yang dibawa dalam pembicaraan pada kongres yang dihadiri tidak kurang oleh 30 organisasi gerakan perempuan. 

Dari Putri Indonesia (Yogyakarta), Wanita Katholik (Yogyakarta), Wanita Utomo (Yogyakarta), Roekoen Wanidijo (Jakarta), Budi Rini (Malang), Putri Indonesia (Surabaya), serta Wanita Sedjati (Bandung). 

Keterangan mengenai kongres itu pun sempat dikabarkan dalam catatan milik Susan Blackburn yang menyebut bahwa ada beberapa agenda selain persoalan domestik, juga ada persoalan-persoalan yang menyangkut mengenai perkawinan dan poligami. (Susan Blackburn, 2007) 

Tentu saja menjadi sangat menarik jika mengamati gerak perempuan Indonesia selama periode 1900-an, bahwa seolah tidak ada yang krusial dengan isu yang menjadi agenda pembicaraan dari para organisasi gerakan perempuan di atas.

Akankah bisa dikatakan bahwa gerakan perempuan tersebut sejatinya merupakan gerakan dari para perempuan yang tidak berdaya? Bisa jadi banyak yang sependapat dengan pernyataan itu jikalau membandingkan dengan gerakan-gerakan perempuan selepas tahun 1950-an hingga 1960-an yang mulai masuk dalam isu politik seiring dengan perjalanan dan perkembangan politik nasional. 

Mulai organisasi perempuan keagamaan, yakni Aisyiyah dan Moeslimat NU, Gerwani, hingga Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia), perlahan namun pasti mulai bergeser ketertarikan pada isu-isu yang lebih kritis. 

Tidak hanya memperbincangkan dalam satu organisasi, tetapi juga turut melibatkan berbagai organisasi untuk mencapai kesepakatan bersama, terutama dalam pengesahan undang-undang yang menyangkut kebijakan perkawinan. 

Undang-undang yang bagi keseluruhan organisasi perempuan (kecuali Gerwani) menjadi sangat penting bagi gerakan perempuan saat itu yang melihat jika pemerintah (negara) masih abai dalam isu ini. Dan, memandang jika isu itu tidak lebih penting dari isu politik yang lainnya (Saskia E. wieringa, 2010).  

 

Gerakan ”Ibu”

Sebuah narasi yang pernah ditulis Julia W. Suryakusuma (2015) mengenai ”Ibuisme Negara” menarik untuk dibaca kembali secara mendalam. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: