Politik Jamak Qasar setelah Pilpres 2024

Politik Jamak Qasar setelah Pilpres 2024

ILUSTRASI politik jamak qasar setelah Pilpres 2024.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Politik jamak qasar di satu sisi dapat mengefisienkan anggaran negara secara maksimal karena ada perampingan kabinet. Di sisi lain, juga tidak bisa mengakomodasi semua kepentingan dari berbagai pihak karena pos dan kuota yang tersedia terbatas.

Konsekuensi politik jamak qasar, antara lain, partai politik koalisi yang ikut berperan dalam proses kemenangan pilpres memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada presiden.

Presiden sebagai pemegang hak prerogatif untuk merekrut, menyeleksi, dan memilih calon anggota kabinet yang dipandang mumpuni dan memiliki integritas dalam menerjemahkan visi, misi, dan program presiden dan wapres tanpa mempertimbangkan jatah atau kuota dari masing-masing partai koalisi. 

Dalam istilah lain, dapat dikatakan semua pihak harus legawa terhadap keputusan yang diambil presiden apabila ada sesuatu hal, misalnya, susunan kabinet tidak sesuai dengan harapan partai koalisi sebagai pendukung utama. 

Sikap itu memang tidak mudah dimiliki partai koalisi pendukung dan pihak lain yang merasa memiliki peran penting dalam kemenangan pilpres, kecuali kalau sejak awal mendukung paslon secara tulus dan tanpa syarat, tapi tampaknya tidak mungkin dalam politik.

Di sisi lain, presiden dengan sikap bijaksananya juga dapat memprioritaskan calon yang berasal dari partai politik dan pihak lainnya apabila yang bersangkutan memenuhi kriteria sesuai yang dibutuhkan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan.

Tentu saja, dengan mengacu pada visi, misi, dan program kerja yang diusung saat kampanye, untuk pada saatnya dilaksanakan secara konkret dalam masa kepemimpinan lima tahun ke depan sampai 2029 dengan tetap menerapkan politik jamak qasar.

Presiden setiap saat juga dapat mengevaluasi secara berkala terkait target dan kinerja seluruh pembantunya dalam pemerintahan dengan mengacu pada pakta integritas dan kontrak kerja yang ditandatangani setiap pejabat saat pertama diangkat sebagai dasar presiden mengevaluasi apakah tercapai atau tidak.

Hampir semua ketua partai politik, kecuali yang menjadi oposisi, menginginkan ada perwakilan kader terbaiknya menjadi menteri atau pejabat lain yang setara, khususnya partai politik koalisi yang memiliki suara dominan di parlemen. 

Harapannya, mereka mendapatkan kuota lebih banyak di kabinet pemerintahan. Secara rasional dan kalkulasi politik, itu wajar-wajar saja. Namun, presiden dengan hak prerogatif yang akan memilih siapa yang akan diangkat sebagai pembantunya sambil mengomunikasikan dengan wakil presiden.

Beberapa pertimbangan presiden memilih calon menteri adalah pengalaman, kompetensi, dan integritas yang bersangkutan dalam menerjemahkan visi, misi, dan program kerja presiden-wakil presiden sebagaimana yang dijanjikan pada saat kampanye. 

Selain itu, aspek profesionalitas, representasi organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, serta pertimbangan lainnya. Presiden biasanya melakukan semacam fit and proper test terhadap calon yang diundang ke istana.

Dalam situasi seperti itu, presiden dapat menerapkan politik jamak qasar, yaitu penyusunan kabinet pemerintahan yang didasarkan pada asas atau prinsip efektivitas dan efisien seperti konsep terminologi jamak qasar. 

Prinsip jamak qasar itu memberikan suatu gambaran kabinet yang ramping dan kaya fungsi sehingga memiliki gerak cepat dan lebih dinamis bagaikan pemain sepak bola yang memiliki tubuh energik, bergerak cepat memasukkan bola ke gawang dengan lincah dan tepat sasaran. 

Prinsip politik jamak qasar di satu sisi akan menguntungkan karena lebih hemat anggaran. Sebaliknya, akan dianggap merugikan pihak lain yang tidak mendapat peluang masuk kabinet. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: