Ribuan Calon Dokter Spesialis Alami Depresi, Begini Tanggapan Ahli

Ribuan Calon Dokter Spesialis Alami Depresi, Begini Tanggapan Ahli

Ilustrasi: Layanan kesehatan di RSI Surabaya. Ribuan calon dokter spesialis dilaporkan mengalami depresi, Gubes FKUI minta ada skrining kualitatif-Julian Romadhon/Harian Disway-

HARIAN DISWAY - Ribuan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) mengalami depresi. Hal ini diduga akibat beban kerja yang berat dalam masa Pendidikan.  

Hal tersebut terungkap dari survey Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terhadap 12.121 dokter yang menjalani PPDS di 28 rumah sakit vertikal. Hasilnya, total 2.716 orang mengalami depresi dengan tingkatan yang bervariasi, yakni ringan, sedang, sedang menuju berat, dan berat. 

BACA JUGA:Data Kemenkes: 22,4 Persen Calon Dokter Spesialis Alami Depresi, Paling Banyak Dari Spesialis Anak

Menurut Prof. Tjandra Yoga Guru Besar Fakultas Kedoktera Universitas Indonesia, selain dilakukannya skrining terhadap para PPDS tersebut, analisa kualitas juga perlu dilakukan untuk melihat faktor penyebabnya dengan lebih jelas. 

“Analisa kualitatif dan rinci ini amat penting agar masalah yang ada dapat terlihat secara gamblang, apa hal utamanya, penunjangnya serta faktor lain yang terkait,” ucap Prof. Tjandra. 

BACA JUGA:22,4 Persen Calon Dokter Spesialis Depresi, Khofifah Bersyukur Tak Ada PPDS dari RSUD Dr Soetomo


ribuan calon dokter spesialis alami depresi, paling banyak dari spesialis anak--freepik

Jika sudah diketahui bahwa banyak mahasiswa PPDS yang mengalami depresi, konsultasi dan perawatan melalui rumah sakit perlu dilakukan. Sehingga diagnosis dapat diberikan dengan baik oleh ahlinya.

BACA JUGA:Persebaran Dokter Tidak Merata, IDI Usulkan Siswa PPDS Semester Akhir Dikirimkan Ke Wilayah Kepulauan

Kemudian Prof. Tjandra juga menyarankan untuk melakukan skrining massal kepada program pendidikan lainnya. Apalagi penyebab dari depresinya para PPDS didasari oleh beban kerja yang berat. 

“Mereka yang mengalami depresi harus cepat ditangani. Kalau depresi terjadi pada program pendidikan lain atau bahkan terjadi pada masyarakat umum maka bukan tidak mungkin perlu program pengatasan depresi yang lebih luas lagi,” pungkas Prof. Tjandra.(*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: