Khasanah Ramadan (28): Kota, Sebuah Persinggahan

Khasanah Ramadan (28): Kota, Sebuah Persinggahan

Kendaraan yang melintas di Waru, Sidoarjo. Tahun ini sebanyak 654.365 kendaraan meninggalkan Surabaya. Sementara sebanyak 551 ribu kendaraan dicatat meninggalkan Jakarta dan Jawa Timur siap menyambut kehadiran 31 juta orang. --HARIAN DISWAY

Sekarang semua tahu bahwa kota-kota tengah memamerkan auratnya. Kesepian. Apa yang sedang melanda “kota yang warganya banyak terserang rindu pulang kampung” ini? Adakah arah sejarah kota ini sedang terputus sejenak rotasi masanya dalam lingkup yang menggelisahkan?

Warga kota merasakan sesak napas kultural untuk menghelakan desah panjang guna merenungi jalan pengembaraan yang seolah gagal menemukan “tanah harapan”. Atau justru kota-kota sedang melakukan perawatan raga untuk sedikit rileks karena beban perkotaannya berkurang.

Tetaplah menyadari bahwa sebuah kota akan tegar menghadapi situasi ini apabila organ kota tidak diam seribu bahasa guna memberikan “pesan-pesan suci” jalan takdir kehidupan. Percayalah mereka akan kembali menemani. Pertanyaan yang segera menggelegak adalah: Bagaimana wajah kota masa depan apabila pemudik membangun desanya? Tidakkah kota ini gemerlap tetapi kehilangan identitasnya dalam tingkatan yang memilukan?

BACA JUGA:Khasanah Ramadan (23): Hari Esok Masjid

Lambat tapi pasti metropolitan semakin tergerus kepahlawanannya dalam mengenang karakter warganya, kalau tidak diingatkan bahwa di kota inilah kalian menemukan “ruas jalan untuk bisa pulang”. Kebutuhan mudik bukankah  telah menyertai dan menguasai hampir seluruh segmen kehidupan ke desa berasal dari kota? 

Kota ini dan siapa saja yang memahami. Pada sini lain kota memang laksana  “hamparan tanah kosong” yang penuh pengintai. Atau kota ini bagaikan lahan tidak bertuan yang sedang dikangkangi “penguasa di balik kelambu” modal. 

Pada segmen ini pandangan saya tertuju pada buku City of Thieves karya David Benioff (2008). Novelnya menyentak sekaligus menghibur dalam celoteh Kota Para Pencuri. Dus, mencermati persemaian kehidupan kota seperti membaca kisah ”peti harta pusaka tua”. 

BACA JUGA:Khasanah Ramadan (20): Mahasiswa Pemakmur Masjid

Tatanannya menyuguhkan perebutan warisan dengan gedung jangkung yang acap membusuk. Kondisi ini jelas menafikan cita dasar konsepsi kota berkelanjutan (sustainable city) yang terus diimplementasikan di banyak tempat. Ada pula prasangka bahwa metropolitan kerap dikepung para “gerombolan” yang tidak jelas asal moyangnya? 

Saat ini, yakinlah mudik ini menjadi pembelajaran. Bahwa kota adalah sebuah persinggahan. Tidak ada yang salah atas hal ini. Karena dunia ini pun persinggahan jua. Mohon maaf lahir batin.

Selamat beridulfitri. (Suparto Wijoyo: Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, dan

Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup-SDA MUI Jatim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: