Khasanah Ramadan (28): Kota, Sebuah Persinggahan

Khasanah Ramadan (28): Kota, Sebuah Persinggahan

Kendaraan yang melintas di Waru, Sidoarjo. Tahun ini sebanyak 654.365 kendaraan meninggalkan Surabaya. Sementara sebanyak 551 ribu kendaraan dicatat meninggalkan Jakarta dan Jawa Timur siap menyambut kehadiran 31 juta orang. --HARIAN DISWAY

HARIAN DISWAY - Sebanyak 551 ribu kendaraan dicatat meninggalkan Jakarta dan Jawa Timur siap menyambut kehadiran 31 juta orang. Data lainnya, 654.365 kendaraan meninggalkan Surabaya. Sungguh ini sebuah pergerakan kolosal, dramatis, dan unik. Berjuta-juta orang bisa menggelombangkan diri keluar dari metropolitan untuk bersarang kembali ke segmen geografis asal kelahiran. 

Kota-kota sontak terbidik lengang dari biasanya. Kota-kota itu merasakan pilunya ditinggal penghuninya. Kota yang sehari-hari menemani, diyakini menjadi ladang mencari nafkah, sontak warganya berpaling ke desa. Ini adalah untaian ironi yang menimpa kota. 

Jalanan Surabaya sebelum Saya beranjak mudik tampak ramai. Saat berangkat di Sabtu-Minggu, 6-7 April 2024 untuk mengucap salam keberangkatan ke kampung halaman depan kehidupan, hati ini terbayang wajahnya. Wajah kota yang selalu riuh nan ceria menjadi terasa dingin, anyep, tergambar nelongso. Seolah kota ini berbisik: “kalian sedemikian tega”. Tapi cepat-cepat saya berikan tanda: “kami kan kembali.” Langsung sukma perkotaan untuk berbinar sumringah.


Sebelum meninggalkan Kota Surabaya, kami sekeluarga berdoa dan menanam pohon beringin di halaman rumah. --

BACA JUGA:Khasanah Ramadan (27): Menuju Samudera Keluarga

Sementara itu jalanan ke luar kota menunjukkan dirinya sedang berpesta. Orang, barang dan jasa semliwer (hilir-mudik) melintas dan senyum mengembang dari raut muka pelintasnya. Rasa letih tiada dihiraukan, kantuk dihalau, dan penat tetap diabaikan demi mencapai “tanah tumpah darah”. 

Inilah cermin besar bahwa kota hanyalah tempat persinggahan yang nisbi. Sementara pedesaan adalah lambang keabadian dan cawan kerinduan. Hati manusia itu dibuncahkan tentang memori masa lalunya untuk dikonstruksi menjadi ingatan masa depan. 


Kondisi Kota Jakarta yang lengang saat Lebaran. Ada saat kota besar ini memang sepi ditinggal warganya yang tinggal sementara untuk mencari nafkah. Bukti bahwa kota adalah sebuah persinggahan. --HARIAN DISWAY

Desa sudah terlalu lama menanti para pemudik yang dianggapnya sebagai “anak-anak zaman yang hilang”. Serentak seluruh desa di Nusantara menggemakan gelora batin warganya. Tanda syukur dikomat-kamitkan. Perputaran cerita, dongeng-dongeng, dan kisah-kisah kehebatan kehidupan kota ditumpahkan sepenuhnya. Juga membanjirnya “air bah keuangan” dari kota ke desa.

BACA JUGA:Khasanah Ramadan (25): Puasa itu “THR”

Kisahnya dapat berjilid-jilid. Oleh-oleh dari kota dinikmati bersama sambil melingkarkan jiwa-raga. Kegagalan jarang dituturkan, kemenangan acap kali diulang-ulang narasinya. Kawan sekampung yang rajin ke sawah-ladang setia membersamai guna mendapatkan karomah petualangan kerabatnya di kota. 

Itu menjadi kenangan yang terpatri dalam memori peradaban saya. Alur ceritanya nyaris setarikan napas membaca Alfu Lailah wa Lailah sebuah kitab Hikayat 1001 Malam yang sangat populer itu. Saya membaca kitab ini dari beragam versi yang berlidi-jilid jumlahnya. Selalu asyik-masyuk. Kisah yang tidak lekang oleh deret waktu. Abadi.

Ramadan akhirnya pada suatu titik kosmologisnya tiba di bentang Idulfitri 1 Syawal. Kota-kota ngudoroso (curhat) atas realitas dirinya. Bukan sebagai rumah tinggal tetapi sekilas kos-kosan. Itu bagi urban dan ini bukan dimaksudkan untuk yang warga “pribumi perkotaan”. Begitulah adanya.  

BACA JUGA:Khasanah Ramadan (24): Tauhid Sosial Mudik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: