Fenomena Krismuha dan Harmoni Sosial di Bumi Cenderawasih
ILUSTRASI fenomena krismuha dan harmoni sosial di Papua yang berjuluk Bumi Cenderawasih. Di sana banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah yang menampung siswa Kristen dan Katolik. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
OASE DI BUMI CENDERAWASIH
Dari sejumlah sekolah yang menjadi sasaran penelitian Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq, yang paling spesial adalah sekolah yang berada di Papua alias Bumi Cenderawasih. Lembaga pendidikan Muhammadiyah di Bumi Cenderawasih terus berkembang.
Jumlah peserta didik yang belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah juga mengalami peningkatan. Hebatnya, mayoritas peserta didik berasal dari penduduk asli Papua dan beragama Kristen. Kondisi itu menunjukkan dakwah Muhammadiyah di bumi Cenderawasih dapat diterima dengan baik.
Salah satu indikatornya adalah peningkatan jumlah amal usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang pendidikan dan sosial. Hingga kini Muhammadiyah di Bumi Cenderawasih memiliki TK Aisyiyah (37), SD (13), MI (11), SMP (7), MTs (13), SMA (6), MA (1), SMK (3), perguruan tinggi (4), panti asuhan (7), dan aset tanah sekitar 300 hektare (muhammadiyah.or.id, 2024).
Muhammadiyah juga aktif mendampingi warga asli Papua agar mendapatkan penghasilan dari bertani, beternak, dan menjadi nelayan.
Meski umat Islam di Bumi Cenderawasih tergolong minoritas, warga Muhammadiyah bisa berinteraksi dengan baik. Hal itu terjadi karena keberadaan Muhammadiyah dirasakan telah memberikan banyak manfaat.
Salah satu jejak Muhammadiyah di Papua bisa diamati di Desa Warmon Kokoda di Distrik Mayamuk, Sorong, Papua Barat. Desa itu dihuni sekitar 250 keluarga atau sekitar 1.000 penduduk dari suku Kokoda yang merupakan salah satu suku asli Papua. Hampir semua penduduknya muslim dan tergabung dalam organisasi Muhammadiyah (Ahmad Najib Burhani, 2022).
Di Desa Warmon Kokoda itu Muhammadiyah mampu menjadi oase sehingga terwujud kehidupan yang harmonis di kalangan warga. Di kampung tersebut Muhammadiyah mendirikan SD. Muhammadiyah juga membangun rumah baca untuk menumbuhkan budaya literasi.
Perkembangan Muhammadiyah di kampung itu tergolong pesat. Apalagi, sejak 2016, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) rutin mengirimkan mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN). Mahasiswa KKN UMY rajin mencarikan sumbangan dan buku bacaan untuk melengkapi fasilitas pendidikan. Kini Warmon Kokoda pun dikenal luas sebagai ”Kampung Muhammadiyah”.
Melalui sejumlah amal usaha itulah, Muhammadiyah menunjukkan karakter utamanya. Yakni, mengabdi dan memberi di seluruh penjuru negeri. Semua itu terjadi karena Muhammadiyah sejak awal berdiri menekankan pentingnya teologi tolong-menolong (the theology of al-ma’unism).
Teologi tersebut mendorong warga Muhammadiyah mempraktikkan ajaran agama melalui amal sosial (a faith with action), kewelasasihan (filantropisme), voluntarisme, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, dan sedikit bicara banyak bekerja.
Sejauh ini institusi pendidikan Muhammadiyah telah berkontribusi besar untuk mencerdaskan warga Papua. Yang juga menarik adalah keberadaan perguruan tinggi Muhammadiyah di Bumi Cenderawasih yang mendidik puluhan ribu mahasiswa.
Lebih dari 70 persen mahasiswa di kampus Muhammadiyah tersebut adalah penduduk asli Papua dan pemeluk Kristen. Realitas itu menunjukkan bahwa pendidikan Muhammadiyah diterima warga Papua. Bahkan, mahasiswa dan pelajar asli Papua yang kristiani juga sangat piawai menyanyikan mars Sang Surya.
Lagu kebesaran warga Muhammadiyah itu terasa lebih merdu berkat suara emas anak-anak dari Indonesia Timur. Maklum, sebagian mereka juga merupakan penyanyi sekaligus biarawati di gereja. Padahal, dalam salah satu bait lagu Sang Surya itu terdapat lirik yang berbunyi ”Al-Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku”.
Meski sebagai pemeluk Kristen, mereka sepertinya tidak pernah ragu menyanyikan Sang Surya dalam berbagai acara resmi Muhammadiyah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: