Anak Pekerja Migran Indonesia
ILUSTRASI anak pekerja migran Indonesia di Malaysia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA: Ramadan-Lebaran ala Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong; Sulit Libur, Berhari Raya dengan Bukber
Sekitar 5,25 juta per bulan. Sedikit lebih tinggi daripada upah minimum kota (UMK) Surabaya yang saat ini mencapai Rp 4,7 juta.
PMI yang masuk secara ilegal sangat besar. Mereka umumnya bekerja di perkebunan atau konstruksi. Seperti halnya yang bekerja di pabrik, pekerja kebun dan konstruksi itu bisa memperoleh honor yang besar dari lembur. Banyak yang bekerja 10 hingga 14 jam agar bisa dapat gaji Rp 6 hingga Rp 8 juta sebulan.
BACA JUGA:Pemprov Jatim Berangkatkan 414 Pekerja Migran ke Korsel
BACA JUGA: Masa Karantina Pekerja Migran Diperpendek
BANYAK PROBLEM
Banyaknya PMI ilegal di Malaysia itu memunculkan berbagai persoalan. Banyak PMI yang ditangkap dan dihukum, lalu dideportasi. Banyak juga PMI yang dieksploitasi, tidak dibayar, atau mengalami perlakuan yang buruk. Karena ilegal, mereka sulit mendapat pertolongan.
Salah satu masalah serius lainnya adalah banyaknya anak yang tak berdokumen. Lahir dari pernikahan sesama PMI ilegal atau PMI yang membawa anak-istrinya. Jumlahnya ribuan dan tersebar di berbagai daerah.
Dengan tak memiliki dokumen, anak-anak itu tidak bisa mendaftar di sekolah Malaysia. Begitu pun di sekolah Indonesia. Jika tak dicarikan solusi, itu akan menjadi masalah serius di masa depan.
Beruntung, saat ini masih banyak WNI ataupun PMI yang peduli terhadap nasib anak-anak tersebut. Mereka mendirikan komunitas-komunitas Indonesia dan menggelar ”sekolah” untuk anak-anak PMI itu. Bukan sekolah formal tentunya. Tapi, mereka nanti bisa memperoleh ijazah. SD hingga SMA.
Komunitas-komunitas itu menjadi semacam sanggar belajar atau pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Yang bisa diakui Kemendikbudristek dan bisa digunakan untuk mendaftar pada jenjang pendidikan lebih tinggi di Indonesia. Tidak bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikan di Malaysia.
Anak-anak itu memang harus pulang ke Indonesia. Jika tidak, mereka akan terus hidup tanpa dokumen. Yang berisiko ditangkap dan dihukum. Hingga usia 18 tahun, mereka memang masih diberi kemudahan. Jika ditangkap, mereka langsung dideportasi. Tapi, jika sudah usia 18 tahun, mereka bisa dihukum sebelum dideportasi.
Anak-anak di Malaysia itulah yang kini juga menjadi perhatian Universitas Airlangga dengan menggelar pengabdian masyarakat internasional di Johor Bahru. Bekerja sama dengan Universitas Teknologi Malaysia (UTM). Unair berusaha menggali persoalan-persoalan mereka untuk nanti dicarikan solusi agar masa depan mereka terjamin.
Tidak ada jalan lain bagi anak-anak itu selain pulang ke Indonesia. Melanjutkan sekolah dan perkuliahan untuk menyiapkan masa depannya. ”Harus ada kesadaran bagi orang tua mereka untuk memulangkan anaknya ke Indonesia,” kata Prof Kusrianti, ketua delegasi Unair yang selama enam hari di Johor.
Unair menerjunkan 20 dosen dan mahasiswa pada program community development itu. Selain Unair, program yang digelar World University Association for Community Development (WUACD) itu juga diikuti Universitas Malang yang dipimpin Hary Suswanto dan Universitas Brawijaya, Malang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: