Mengenal Tradisi Manten Kucing yang Masih Diterapkan di Tulungagung untuk Memanggil Hujan

Mengenal Tradisi Manten Kucing yang Masih Diterapkan di Tulungagung untuk Memanggil Hujan

Tradisi manten kucing di Tulungagung masih dilestarikan sebagai ritual pemanggil hujan di musim kemarau panjang. --Pinterest

HARIAN DISWAY – Manten kucing adalah warisan budaya berupa ritual yang selalu dilestarikan di daerah Tulungagung. Manten Kucing adalah tradisi atau ritual yang dilakukan untuk meminta diturunkan hujan saat musim kemarau panjang tiba.

Tradisi ini biasa dilakukan oleh masyarakat di Desa Palem, Kecamatan Campurdarat. Manten kucing ini membutuhkan sepasang kucing untuk di arak untuk dimandikan di telaga coban, lalu dirias layaknya sepasang manten pada umumnya. 

Kemudian di arak kembali menuju pelaminan yang dilengkapi degan berbagai sesajen. Saat di pelaminan kucing akan di pangku oleh sepasang laki-laki dan perempuan berbusana pengantin.

BACA JUGA: Identitas Budaya Masyarakat Jawa Kuno: Sebuah Tradisi Kulineran dalam Prasasti Masahar

Kucing yang digunakan tidak hanya asal mengambil, namun harus kucing yang bewarna hitam legam, kedua kucing harus berasal dari sisi barat dan timur desa dan akan dipertemukan dib balai desa setempat.

Ritual akan diawali dengan pembacaan doa yang dilakukan oleh sesepuh setempat, dilanjutkan dengan upacara selamatan, pembacaan ujub, doa dalam bahasa jawa, dan terakhir aka nada tarian tiban yang dilakukan oleh dua orang laki-laki. 

Pada saat menari, para penari akan bertelanjang dada dan saling mencambuk satu sama lain dengan lidi aren. Selain itu meminta hujan ritual manten kucing ini sebagai wujud syukur atas limpahan berkah yang telah diberikan Allah SWT.

BACA JUGA: Ritual Sesat di Bandung, Menari di Tengah Malam

Sejarah Tradisi Manten Kucing

Tradisi ini sudah ada sejak 1926 yang bermula karena adanya kemarau panjang yang menyebabkan penduduk tidak bisa bertani. Penduduk setempat pada saat itu hanya bergantung pada mata air dan air hujan karena belum ada irigasi.

Suatu hari sesepuh desa yaitu Eyang Sangkrah tidak sengaja memandikan sepasang kucing di telaga coban. Seketika hujan turun dan kemarau panjang di sana berakhir. Belakangan tradisi itu dipakais ebagai media untuk mengakrabkan masyarakat setempat, serta sebagai media promosi wisata.

Melihat hal ini, penduduk yang mengetahui kejadian ini menganggap hal tersebut menyebabkan turunnya hujan. Peristiwa inilah yang dinamakan ngedus kucing. Ritual manten kucing hanya bisa dilakukan oleh Eyang Sangkrah beserta keturunanya.

BACA JUGA: Lestarikan Budaya ala Pemuda Berkain Surabaya

Karena jika dilakukan oleh orang lain ritual itu akan menjadi bumerang bagi masyarakat setempat. Namun, seiring berkembangnya zaman ritual manten kucing mulai dilaksanakan dengan menggunakan beberapa ritual. 

Ritual ini tidak hanya bersifat saktral akan tetapi juga bersifat hiburan bagi masyarakat setempat. Dengan disaksikan oleh banyak orang, ritual ini akan semakin dikenal banyak orang dan semakin banyak yang akan melestarikan.

Puncak ketenaran ritual ini yaitu pada 2005 saat Dinas Pariwisata Privinsi Jawa Timur menunjuk manten kucing sebagai perwakilan kebudayaan Jawa Timur di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

BACA JUGA: Harmoni Unik Morin Khuur, Alat Musik Warisan Budaya Mongolia Dalam

Meski ritual ini sempat kehilangan suara dan mulai memudar, tapi warga Desa Palem tetap menggelar ritual manten kucing secara rutin setiap tahunnya untuk mengenalkan kembali ritual ini ke warga Tulungagung dan sekitarnya. (*)

Artikel ini ditulis oleh Anik Zulfia, mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, peserta Magang Regular di Harian Disway

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: