Rukyatulhilal di Perpolitikan Indonesia

Rukyatulhilal di Perpolitikan Indonesia

ILUSTRASI rukyatulhilal di perpolitikan Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Menjaga Stabilitas Perekonomian di Tahun Politik

BACA JUGA: Koruptor Punya Hak Politik, KPK Naik Banding

Masa-masa seperti inilah yang saat ini sedang berlangsung menjelang pemilihan kepala daerah. Masing-masing sedang pasang kuda-kuda untuk melihat kekuatan calon dan kekuatan partai pengusungnya.

HASIL RUKYATUL HILAL DI PERPOLITIKAN DAN KONSEKUENSINYA

Ketika pemerintah menetapkan bahwa hilal berhasil dirukyat, hasilnya langsung diumumkan untuk menjadi dasar bagi umat Islam mengawali 1 Ramadan atau 1 Syawal. Pemerintah memiliki otoritas untuk menetapkan dan umat memiliki kewajiban untuk patuh dan mengikuti.

Hal itu berbeda ketika partai politik menetapkan calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah sebagai ilustrasi ”hilal” yang tampak setelah ditunggu-tunggu kemunculannya. Belum tentu semua yang ada di partai politik tersebut, termasuk massa pengikutnya, mengikuti kebijakan atau ketetapan partai.

Dalam situasi demikian, biasanya di antara elite partai ada yang menyeberang ke partai lain atau berpindah haluan ke calon lain. Dalam perpolitikan di Indonesia, hal demikian sering terjadi dan sering menjadi kejutan bagi masyarakat. Semua itu terjadi karena merasa kepentingan politiknya tidak terakomodasi. 

Saat ini sampai menjelang pendaftaran calon kepala daerah beserta pasangan masing-masing masih silih berganti, bergantung situasi dan kondisi perpolitikan. Kadang suara arus bawah berbeda dengan pilihan yang akan diusung pimpinan partai. Hal demikian memunculkan spekulasi siapa calon yang akan diusung oleh partai politik dan dengan siapa berpasangan.

Pimpinan partai politik juga perlu mendengar aspirasi arus bawah. Sebab, merekalah sebenarnya yang memiliki kedaulatan rakyat melalui pemberian hak suara dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. 

Partai politik dengan perolehan suara dalam pemilu dan jumlah kursi yang dimiliki di DPRD dari hasil pemilihan legislatif hanya sebagai modal untuk bisa mencalonkan siapa yang akan diusung sesuai peraturan perundang-undangan, dan sebagai peta kekuatan serta posisi tawar untuk berkoalisi saja, tidak menjadi penentu kemenangan dalam pilkada secara langsung.

Setiap partai politik memiliki kekuatan berbeda-beda di setiap daerah pemilihan. Sebab itu, partai politik dalam koalisi nasional belum tentu sama koalisinya pada tingkat lokal atau daerah. 

Itu bergantung kekuatan masing-masing pada daerah pemilihan dan bergantung siapa calon yang diusung, apakah calon dan partai pengusung memiliki posisi tawar yang marketable atau tidak.

Dalam kaitan ini, peta politik bersifat dinamis dan mengalir karena dalam masa-masa sosialisasi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah serta dengan siapa akan dicalonkan dalam satu paket pasangan calon (paslon) masih belum diumumkan secara resmi partai pengusung dan koalisinya. 

Biasanya calon yang lebih dulu diketahui oleh masyarakat adalah calon kepala daerah yang berasal dari petahana seperti di Jawa Timur. Akan tetapi, pasangan calon wakil yang akan mendampingi sampai saat ini juga belum tampak hilalnya secara resmi, siapa yang dimunculkan oleh partai pengusung atau partai koalisi. 

Termasuk calon lain yang akan menjadi kompetitor, juga belum kelihatan hilalnya karena partai politik dan koalisinya tampaknya juga masih saling menunggu dan memantau kekuatan masing-masing dan posisi tawar calon kepala daerah yang diusung. Hal demikian memang menjadi sebuah strategi seperti orang bermain bermain catur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: