Perang Pantaran: Cak Imin vs Gus Ipul-Gus Yahya

Perang Pantaran: Cak Imin vs Gus Ipul-Gus Yahya

ILUSTRASI Perang Pantaran: Cak Imin vs Gus Ipul-Gus Yahya.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Gus Yahya Angkat Bicara soal Agenda Besar PBNU yang Bawa Kontroversi

BACA JUGA: Gus Yahya Paparkan Alasan PBNU Terima Izin Tambang dari Pemerintah: Butuh Uang Untuk Organisasi

Sekarang, dua dasawarsa setelah peristiwa Gus Dur, trio politikus protege Gus Dur –Ipul, Yahya, Imin– sedang bertarung memperebutkan PKB. Yahya dan Ipul berada di kubu yang sama sebagai ketua dan sekretaris PBNU, sedangkan Imin berada di seberang sebagai ketua umum PKB. 

Sebagian pendukung Gus Dur masih menyimpan dendam kepada Imin karena dianggap mengudeta Gus Dur dari kepemimpinan PKB. Konflik paman vs keponakan itu menjadi konflik politik paling panjang sekaligus paling misterius di Indonesia. 

Secara legal, Imin menjadi ketua PKB yang sah. Namun, secara ideologis, pendukung Gus Dur mengganggap Imin sudah melenceng dari khitah PKB. Itulah yang sekarang menjadi pangkal perseteruan baru antara PBNU dan PKB. Dalam konflik tersebut, Yahya lebih berperan sebagai politikus ketimbang sebagai ketua jam’iyah.

Mungkin Imin banyak terinspirasi oleh langkah politik Gus Dur yang sulit diprediksi. Imin pun meniru langkah itu. Koalisinya dengan Anies Baswedan menjadi bukti langkah politik maverick yang diwarisi Imin dari Gus Dur.  Menurut kalkulasi politik normal, Gus Dur tidak mungkin berkoalisi dengan Amien Rais. Namun, politik maverick Gus Dur memungkinkannya berkoalisi dengan Amien Rais.

Imin juga demikian. Koalisinya dengan Anies dianggap mustahil atau setidaknya tidak mungkin. Ternyata Imin bisa bergabung dengan Anies dan PKB berkoalisi dengan PKS. Koalisi kucing-tikus dan minyak-air terulang seperti sebuah deja vu.

Koalisi Amin (Anies-Imin) menyatukan dua arus Islam politik tradisional dan Islam modern menjadi satu. Namun, ternyata koalisi itu tidak cukup kuat untuk mengalahkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang disokong penuh oleh Jokowi.

Gus Ipul dan Gus Yahya ikut memainkan langkah kuda ala Gus Dur. Duet itu sejak awal mendeklarasikan netral dalam pilpres. Namun, dalam praktiknya, PBNU terlihat lebih dekat kepada Prabowo-Gibran ketimbang Amin.

Pascapilpres, perang antara Imin vs duet Yahya-Ipul makin tajam. PBNU membentuk tim khusus untuk mengkaji kemungkinan mengembalikan PKB kepada khitahnya. Artinya, PKB harus bisa manut kepada PBNU.

Sekarang PKB dianggap seperti anak nakal yang tidak manut kepada bapaknya. Persaingan sudah terjadi sejak muktamar di Lampung yang memenangkan Yahya-Ipul. Imin yang mendukung petahana Said Agil Siroj kalah. Sejak itu, benih-benih persaingan makin tajam.

Puncaknya terjadi saat pilpres. Dua kubu terlihat mengambil sikap berseberangan. Dan, ketika akhirnya Imin kalah dalam pilpres, kesempatan untuk mendisiplinkan PKB kian terbuka. Persaingan pun merembet ke mana-mana. Upaya untuk membentuk pansus haji dianggap sebagai serangan pribadi terhadap Gus Yahya karena Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ialah adik kandung Gus Yahya.

Persaiangan pribadi tidak bisa dihindarkan. Maklum, mereka semua sepantar, sama-sama tahu dan hafal kartu masing-masing. Kadang (atau sering) serangan dari dua kubu bersifat ad hominem, ’menyerang pribadi’. Imin, misalnya, tidak segan menyebut Ipul sebagai makelar.

Tentu tidak gampang menaklukkan Imin. Hasil manuver yang cantik selama pilpres menempatkan posisi PKB makin kokoh di parlemen. Efek ekor jas dari Anies, antara lain, bisa membawa PKB sebagai empat besar penghuni Senayan dengan perolehan suara 11 persen.

Perolehan suara itu menjadi modal kuat bagi PKB untuk melakukan bargaining dengan pemerintahan yang baru. Perolehan suara yang solid itu juga memberikan legitimasi yang kokoh kepada Imin untuk tetap mempertahankan kepemimpinannya di PKB.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: