Demo Harus Dikompori
ILUSTRASI demo harus dikompori. Banyak mahasiswa demonstran yang terluka.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Penurunan itu sudah sejak awal era reformasi diperjuangkan partai politik yang baru lahir, yang jumlah anggota masih sedikit. Tapi, tak pernah gol. Tujuan penyelenggara negara waktu itu adalah jumlah partai politik di Indonesia tidak terlalu banyak. Misalnya, sampai 100 partai seperti zaman Orde Lama. Maka, partai yang belum memenuhi ambang batas bisa berkoalisi dengan partai lain untuk mengusung calon.
Apakah itu tidak demokratis? Di negara biangnya demokrasi (Amerika Serikat), jumlah partai cuma dua.
Ambang batas itu sejak awal era reformasi diperjuangkan politisi partai kecil agar dihilangkan, tapi tak pernah gol. Baru sekarang, atas gugatan Partai Gelora dan Partai Buruh, gol. Ambang batas itu pada Selasa, 20 Agustus 2024, diturunkan MK. Sehari kemudian dianulir DPR. Itulah yang jadi materi demo. Setelah ada demo, anggota DPR ”balik kucing” mengikuti putusan MK.
Baru kali ini DPR membatalkan suatu keputusan lantaran tekanan massa. Biasanya, meski didemo, mereka tenang-tenang saja. RUU perampasan aset koruptor sudah sejak 2008. Terus-menerus didorong massa agar disahkan jadi UU. Belum juga gol. Mengapa belum gol?
Jawabnya, para elite politik dan pemerintahan korup. Indonesia negeri terkorup di dunia. Karena itu, mustahil para elite mengompori massa agar berdemo menuntut disahkan UU tersebut. Tidak mungkin mereka ”bunuh diri”.
Kalau tidak ada yang mengompori, mahasiswa pun tidak demo. Mereka diam. Apalagi, para penganggur dan pencopet yang memanfaatkan situasi kondisi lokasi demo.
Jadi, tanpa ”kompor”, tidak ada pendemo. Sepi. Begitu juga sebaliknya. Pendemo bergerak bak pejuang setelah dikompori para elite. Padahal, materi yang didemokan persoalan politik yang rumit. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: