Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia

Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia

ILUSTRASI Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Hal itu mengherankan para pejabat kolonial, terutama untuk jabatan bupati ke bawah. Berbeda dengan raja, jabatan bupati menurut pandangan para pejabat kolonial semestinya merupakan jabatan karier yang harus diemban orang-orang yang cakap. 

Mereka tidak harus merupakan keturunan para elite yang memegang jabatan sebelumnya. Menurunkan jabatan dari satu generasi ke generasi berikutnya dianggap merupakan tindakan yang mencederai demokrasi serta prinsip-prinsip meritokrasi. 

Meritokrasi adalah sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial. Hal itu telah dijalankan di Eropa sejak ratusan tahun yang lalu. 

Salah satu pejabat kolonial yang mengkritisi jabatan-jabatan publik di Jawa yang kental dengan feodalisme dan dinastisme adalah Gubernur Jenderal Daendels. Ia melihat praktik pemerintahan yang dijalankan para pejabat bumiputra, terutama bupati, penuh dengan pemborosan tetapi tidak bisa dikoreksi kekuatan lain. 

Rakyat tidak memiliki kekuatan apa pun dalam menghadapi praktik-praktik kurang benar yang dijalankan penguasa mereka. Salah satu hal yang dikritisi Daendels, sebagaimana dijelaskan D.H. Burger dalam bukunya, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, adalah ketika para pejabat harus berkunjung ke daerah-daerah yang menjadi kekuasaan mereka. 

Mereka membawa pengiring dalam jumlah yang sangat banyak. Seorang bupati yang berkunjung ke sebuah daerah akan membawa pengiring minimal 400 orang. Semua kebutuhan di tempat ia berkunjung harus ditanggung pejabat setempat, terutama kebutuhan untuk makan dan menginap. 

Hal tersebut dirasakan sangat memberatkan pejabat beserta rakyat setempat karena harus menanggung semua kebutuhan tersebut. Tidak jarang, setelah kunjungan bupati, seorang demang harus menanggung utang yang sangat besar.

Secara umum, pejabat tradisional di Jawa saat itu tidak memiliki gaji tetap. Sebagaimana diuraikan Onghokham dalam bukunya, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang, kebutuhan sehari-hari para pejabat menjadi tanggungan rakyat melalui berbagai pungutan yang jenisnya sangat banyak. 

Realitas semacam itulah yang dicermati Daendels. Ia kemudian membuat sebuah rancangan reformasi jabatan publik menjadi lebih rasional. 

Pertama, para bupati dijadikan pejabat kolonial yang mendapatkan penghasilan dengan cara diberi subsidi oleh pemerintah kolonial. 

Besaran subsidi ditetapkan berdasar besar kecilnya jabatan bupati yang mengacu pada luasan wilayah dan penduduk yang dikuasainya. Bupati dengan kekuasaan kecil diberi subsidi 500 gulden per bulan, sedangkan bupati dengan kekuasaan yang besar diberi subsidi 1.500 gulden per bulan. 

Pada saat yang bersamaan, penyerahan wajib yang semula merupakan pendapatan para bupati perlahan-lahan dihapuskan.

Kedua, jumlah pengiring untuk seorang bupati yang berkunjung ke daerah dibatasi maksimal 40 orang. Berbagai benda tanda kebesaran bupati juga banyak dikurangi sebagai bentuk defeodalisasi. 

Dengan cara semacam itu, bupati dijadikan pejabat publik dengan mengedepankan aspek-aspek rasional. Pejabat tidak lagi dilihat berdasar benda-benda simbolis. Namun, berdasar pada kemampuan personal. 

Hal tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi beban rakyat yang sebelumnya harus menanggung berbagai benda bersifat simbolis tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: