Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia

Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia

ILUSTRASI Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Sayang, sebelum Daendels berhasil merealisasikan seluruh gagasannya, ia keburu ditarik kembali ke Belanda karena Jawa berhasil diduduki Inggris. Reformasi jabatan publik kemudian dilanjutkan Raffles yang berkuasa di Jawa pada 1811–1816. 

Perubahan yang dilakukan terhadap jabatan publik pada saat itu memang tidak bisa dikatakan mewakili gagasan demokrasi secara umum. Sebab, rakyat juga tidak dilibatkan untuk urusan tersebut. 

Jabatan-jabatan publik masih sepenuhnya merupakan jabatan turun-temurun. Namun, setidaknya para pejabat tradisional pada saat itu sudah diingatkan bahwa posisi dan kedudukannya tidak boleh dimanfaatkan dengan semena-mena dan semaunya sendiri. Harus ada yang mengontrol jabatan demi kepentingan publik. 

Proses defeodalisasi jabatan publik bukan pekerjaan yang mudah karena menyangkut tradisi yang telah berurat berakar. Bahkan, Daendels yang dikenal sebagai pejabat kolonial yang sangat disiplin dan keras juga sempat ragu-ragu saat mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi peran para bupati. 

Ia takut para bupati yang telah kehilangan sebagian besar simbol-simbol kekuasaan dan kewenangannya akan menggerakkan rakyat untuk melawan pemerintah kolonial. 

Pada awalnya keberadaan pengiring akan dihapus secara total, tetapi akhirnya hanya dikurangi. Subsidi keuangan kepada bupati awalnya juga akan disamakan, tetapi akhirnya diubah dan disesuaikan dengan besar kecilnya jabatan masing-masing bupati. (*)


*) Purnawan Basundoro adalah guru besar dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: