Demokrasi Membutuhkan Etika

Demokrasi Membutuhkan Etika

ILUSTRASI demokrasi membutuhkan etika.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

PADA 27 November 2024 rakyat Indonesia kembali akan melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. 

Pilkada merupakan bagian dari proses demokrasi yang menempatkan kedaulatan negara berada di tangan rakyat. Rakyat harus memilih seorang pemimpin yang berasal dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka.

Pemimpin yang terpilih akan diberi kewenangan untuk mengelola anggaran dan mengambil kebijakan dalam upaya mewujudkan kebaikan bersama yang menjadi tujuan hidup bernegara.   Untuk itu, seorang pemimpin harus memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan rakyat lainnya. Karena kelebihannya itu, sesorang dipilih menjadi pemimpin.

BACA JUGA: Merawat Demokrasi, Menghidupkan Oposisi

BACA JUGA: Defeodalisasi Jabatan Publik (1): Bibit Demokrasi di Indonesia

Pada masyarakat tradisional, seorang pemimpin memiliki kelebihan berupa kekuatan fisik. Sebab, seorang pemimpin harus menjadi panglima perang. Kekuatan fisik itulah yang bisa  melindungi rakyatnya dari ancaman bangsa lain. Namun, dalam perjalanan sejarah, kekuatan tersebut bergeser dari fisik ke intelektual. 

Napoleon Bonaparte merupakan salah satu contoh pemimpin yang mengandalkan kekuatan intelektual. Ia menggunakan kecerdasan untuk menyusun strategi dalam peperangan sehingga bisa mengalahkan musuh-musuhnya.  

Saat ini dan kedepan, kekuatan yang dibutuhkan dari seorang pemimpin tidak lagi hanya intelektual, tetapi juga memiliki moralitas yang kuat. Kecerdasan tanpa disertai dengan moral yang baik bisa mengarah pada tirani. 

BACA JUGA: Demokrasi dan Kekuasaan: Antara Maslahat dan Mafsadat

 BACA JUGA: Mengoreksi Pesta Demokrasi agar Tak Menyakiti Bumi

Kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepada pemimpin tidak untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Oleh karena itu, Plato tidak memilih demokrasi dalam mewujudkan kebaikan bersama.  

Bagi Plato, negara harus dipimpin seorang filsuf yang memiliki intelektual dan kebijaksanaan. Filsuf tidak hanya memiliki kekuatan intelektual, tetapi juga bermoral, sehingga memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dengan yang buruk. 

Orang yang memiliki intelektual tidak hanya dapat melakukan analisis untuk menemukan masalah, tetapi juga bisa mengambil  keputusan yang tepat dan benar dalam menyusun program pembangunan. 

BACA JUGA: Seni Politik Hospitalitas: Berdemokrasi Tanpa Kegaduhan dan Kebencian

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: