Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (2): Signifikansi Civil Society di Tengah Gempa Politik

Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (2): Signifikansi Civil Society di Tengah Gempa Politik

ILUSTRASI Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (2): Signifikansi Civil Society di Tengah Gempa Politik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

DALAM perjalanan demokrasi menjelang pemilihan presiden (pilpres), telah terjadi gempa politik seperti kekuatan gempa tsunami berkekuatan 9,3 skala Ricther (SR) yang pernah terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004. 

Gempa politik yang dimaksud terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan seseorang yang di bawah usia 40 tahun bisa menjadi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah. 

Putusan MK tersebut memberikan peluang bagi Gibran untuk menjadi cawapres, mendampingi Prabowo Subianto, pada Pemilu 2024. Putusan itu membawa dampak dahsyat terhadap tatanan demokrasi sehingga menjadi karut-marut dan porak-poranda seperti dampak dari gempa berkekuatan dahsyat yang memorak-porandakan alam. 

BACA JUGA: Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (1): Politik: Arisan dan Takdir

BACA JUGA: Tak Lagi Pakai Keputusan KPU, Pelantikan Prabowo-Gibran Bakal Gunakan Ketetapan MPR

Selanjutnya, terjadi gempa politik susulan terkait respons pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengusulkan revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Itu memicu protes besar-besaran dan menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat karena bermuatan sangat politis untuk melanggengkan kekuasaan atau dinasti politik. 

Yang diusulkan untuk direvisi adalah putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia minimal calon kepala daerah (calon gubernur atau calon wakil gubernur) berusia paling rendah 30 tahun dan MK menyatakan persyaratan tersebut harus dipenuhi sebelum penetapan pasangan calon (paslon), bukan sejak pelantikan. 

Rencana usulan revisi tersebut akhirnya tidak jadi setelah mendapat protes besar-besaran dari kalangan civil society.

Mengapa gempa politik yang pertama terjadi dan lolos walaupun sempat mendapat penentangan dari civil society? Sebab, civil society sebagai kekuatan penyangga demokrasi saat itu tidak kuat dan tidak kompak. 

BACA JUGA: Jokowi Dukung Kabinet Zaken Pemerintahan Prabowo-Gibran

BACA JUGA: Respons Gus Ipul soal Peluang Jadi Mensos Lagi di Era Prabowo-Gibran

Sebagian terbawa arus kekuasaan seperti badai dahsyat yang menyapu apa pun yang ada di sekelilingnya sehingga pertahanan demokrasi menjadi jebol seperti bola ditendang ke gawang tanpa ada halangan dengan skor menjadi 1-0.

Benteng kekuasaan saat itu sangat kuat bagaikan benteng pertahanan yang berlapis. Sebagian besar partai politik juga ikut menyokong politik yang berada di bawah kendali kekuasaan saat itu. Akibatnya, perjuangan dari kalangan civil society tidak berhasil menembus sekat-sekat kekuasaan yang berlapis.

Menyadari gempa politik utama menjelang Pilpres 2024 dengan kekuatan dahsyat tidak berhasil dibendun, ketika hendak terjadi gempa politik susulan menjelang pilkada serentak 2024, semua elemen bangsa memperkuat pertahanan dan perjuangan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: