Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (2): Signifikansi Civil Society di Tengah Gempa Politik

Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (2): Signifikansi Civil Society di Tengah Gempa Politik

ILUSTRASI Menyambut Pemerintahan Baru Prabowo-Gibran (2): Signifikansi Civil Society di Tengah Gempa Politik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Suatu bangsa dan negara menjadi kuat, besar, dan maju bergantung pada kekuatan, kebersamaan, dan kebijaksanaan penyangganya. Ibarat sebuah bangunan yang kokoh dan megah yang bergantung pada kekuatan fondasi dan penyangganya. 

Fondasi bangsa dan negara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945 dengan komitmen menegakkan NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Wibawa bangsa dan negara Indonesia di mata dunia, baik secara nasional maupun internasional, digantungkan pada fondasi dan penyangganya karena sebuah fondasi tidak akan disebut sebuah bangunan yang kokoh dan megah bernama bangsa dan negara apabila penyangganya tidak berperan dan berfungsi dengan baik. 

Lebih-lebih, jika mereka tidak berperan dan tidak bisa bekerja sama, bangsa dan negara Indonesia hanya akan menjadi tontonan dunia seperti para pemain sepak bola yang berada di lapangan kalau tidak kuat dan tidak bisa bekerja sama dengan baik antar pemain, bola yang ditendang oleh pihak lawan akan masuk ke gawang.

Lalu, siapa yang dimaksud sebagai penyangga bangsa dan negara yang masih orisinal sampai saat ini? Mereka, antara lain, adalah kalangan kiai (ulama) atau para tokoh agama, akademisi, dan sebagian politikus.  

Tiga komponen bangsa itu sebagai penyangga utama sebuah bangunan kokoh dan besar bernama Indonesia, selain penyangga lainnya. Tiga komponen bangsa tersebut kalau dipersentasekan sekitar 75 persen kekuatan sebagai penyangga utama wibawa bangsa dan tegaknya demokrasi.

Kiai, ulama, atau tokoh agama adalah komponen bangsa yang berperan menjaga moral bangsa Indonesia. Mereka dapat memberikan keteladanan melalui sikap dan perbuatan serta nasihat dan fatwa, baik diminta maupun tidak diminta. 

Juga, memberikan rambu-rambu etik dalam bersikap dan berperilaku bagi semua anak bangsa, termasuk para pemimpin sebagai penyelenggara negara. 

Kiai atau ulama menjadi mitra pemerintah dalam ikut mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kerukunan umat beragama.

Akademisi merupakan kelompok insan cerdik cendekia yang berperan dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengabdikan ilmu dan kajian-kajian ilmiah untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemajuan suatu bangsa. 

Akademisi tidak memiliki kepentingan untuk melanggengkan sebuah kekuasaan. Yang dilakukan kalangan akademisi adalah terus berjuang bagaimana para pemimpin yang sedang diberi amanah kekuasaan, siapa pun pemimpinnya, memiliki keberpihakan untuk memajukan bangsa melalui kebijakan pendidikan dalam arti luas. 

Yakni, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyebaran hasil-hasil kajian dan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat dan dunia pada umumnya.

Sementara itu, politisi adalah komponen bangsa yang berperan memberikan keteladanan dalam berdemokrasi, berpolitik, dan keteladanan dalam memegang kekuasaan, serta bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan dan keadilan apabila mendapat amanah kekuasaan. 

Harapan-harapan yang melekat pada politisi dalam realitasnya, sebagian ada yang terwujud dan sebagian tidak terwujud. Terwujudnya harapan-harapan tersebut bergantung pada pakta integritas yang menyatu pada pribadi politisi

Semua komponen bangsa tersebut memiliki iktikad yang sama, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peran dan tugas pokok serta fungsi (tupoksi) masing-masing. Kerja sama antarkomponen bangsa itu dapat dilakukan dengan tanpa mengintervensi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: