Melawan Alienasi Politik lewat Estetika, Saat Kesenian Jadi ”Ruang Aman” Demokrasi

Melawan Alienasi Politik lewat Estetika, Saat Kesenian Jadi ”Ruang Aman” Demokrasi

ILUSTRASI Melawan Alienasi Politik lewat Estetika, Saat Kesenian Jadi ”Ruang Aman” Demokrasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

SELAMA INI pemerintah dan banyak pihak sering mengukur keberhasilan pembangunan daerah hanya dari angka-angka ekonomi: berapa investasi yang masuk, berapa target pajak yang tercapai, atau berapa jumlah wisatawan yang hadir saat sebuah acara budaya digelar. 

Seni diposisikan hanya sebagai sektor ekonomi, komoditas hiburan, atau alat branding pariwisata. Padahal, kita luput pada esensinya bahwa Seni adalah cermin kehidupan sosial-politik dalam masyarakat. 

Kesenian memiliki fungsi sebagai alat ukur kualitas hidup dalam tingkat komunitas. Jika seni di sebuah kota mandek, diam-diam kohesi sosialnya sedang retak. Fungsi krusial itulah yang membuat kegiatan seni berbasis komunitas menjadi benteng terakhir dialog dan ruang aman bagi warga.

BACA JUGA:Dewan Kesenian Tanpa Kebaruan

 BACA JUGA:Otak Anggota DPR dalam Perspektif Neuropolitik

Saat kanal-kanal politik formal sering terasa kaku, tertutup, bahkan intimidatif, kesenian menawarkan medan yang cair, jujur, dan penuh empati. Kita bisa mengkritik masalah paling sensitif, tanpa takut judgement atau polarisasi.

Di Surabaya, kita punya contoh nyata dari beberapa geliat seni dalam komunitas. Lihatlah gerakan yang diusung Teater Api Indonesia. Mereka tidak sekadar berpentas di gedung mewah, menyajikan nuansa keagungan dalam panggung yang megah. 

Panggung mereka adalah jalanan, lahan kosong, atau ruang-ruang publik yang terpinggirkan. Kesenian, bagi Teater Api, adalah jembatan negosiasi realitas. 

BACA JUGA:Ujung Tapal Batas Politik Bebas Aktif

BACA JUGA:Meruwat DPR: Krisis Representasi Politik

Mereka menggunakan teater jalanan dan pertunjukan berbasis isu (seperti isu lingkungan, penggusuran, atau masalah tunawisma) tidak hanya untuk menghibur, tetapi juga untuk memantik kesadaran kolektif. 

Proses kreatif mereka –mulai riset, latihan, hingga pementasan– adalah sekolah partisipasi politik nonformal. 

Di balik tirai, komunitas itu menciptakan ruang aman tempat anggota dapat berbagi pengalaman pribadi yang traumatis atau mengkritisi kebijakan daerah lewat bahasa metafora dan sandiwara, yang sering kali jauh lebih berani dan jujur daripada pidato politik mana pun.

BACA JUGA:Demonstrasi: Bahasa Politik yang Gagal Dipahami

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: