Melawan Alienasi Politik lewat Estetika, Saat Kesenian Jadi ”Ruang Aman” Demokrasi

Melawan Alienasi Politik lewat Estetika, Saat Kesenian Jadi ”Ruang Aman” Demokrasi

ILUSTRASI Melawan Alienasi Politik lewat Estetika, Saat Kesenian Jadi ”Ruang Aman” Demokrasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Ijazah dan Dinamika Perpolitikan di Indonesia

Mereka membuktikan bahwa teater adalah politik yang diekspresikan dengan estetika.

Di sudut kota yang lain, Sanggar Seni Omah Ndhuwur di Bangunrejo menunjukkan kekuatan seni sebagai alat penyembuh luka sosial. Setelah penutupan lokalisasi, stigma ”kawasan kelam” tak terhapus, malah membebani psikologis anak-anak, membuat mereka malu dan teralienasi dari pergaulan luar. 

Abdoel Soemute alias Kang Semut dengan cerdas menjadikan tarian sebagai senjata. Ia memilih tari remo, simbol kebanggaan Surabaya, yang dibangun sebagai identitas baru bagi anak-anak di sana. 

Logikanya sederhana: dengan menguasai simbol budaya yang dikenal dan dihormati, anak-anak itu merebut kembali narasi tentang diri mereka dari label negatif yang dilekatkan masyarakat.

Kini suara gamelan dari Omah Ndhuwur menjadi detak jantung baru di kampung itu, menggantikan kesunyian stigma. Gerakan bottom-up tersebut berpuncak pada Mbangunrejo Art Festival, sebuah deklarasi tahunan yang melibatkan ratusan penari cilik. 

Festival itu bukan sekadar pentas, melainkan ”ruwatan” publik, sebuah penegasan identitas bahwa Bangunrejo telah berubah. 

Omah Ndhuwur membuktikan bahwa seni tak hanya menghasilkan karya, tetapi juga menghapus penjara mental, mengubah anak-anak yang murung menjadi generasi yang percaya diri dan berani bermimpi menjadi ”Kampung Wisata”, saat stigma masa lalu mereka tak lagi berkuasa.

Dalam kajian antropologi budaya, festival dan karnaval kerap dimaknai sebagai bentuk perlawanan yang tidak menonjolkan konfrontasi, tetapi berjalan melalui simbol dan perayaan. 

Mikhail Bakhtin (1984) dalam Rabelais and His World menyebut suasana semacam itu sebagai carnivalesque –sebuah dunia sementara tempat tatanan sosial terbalik, hierarki menjadi longgar, dan tawa menjadi bahasa kritik yang aman. 

Sementara itu, Victor Turner (1969) melihat momen seperti itu sebagai ruang peralihan yang memunculkan rasa kebersamaan. Festival dan karnaval dapat dipahami sebagai wadah bagi masyarakat untuk bernegosiasi dengan kekuasaan dan menghidupkan solidaritas sosial. 

Warga tidak sekadar berpesta, tetapi juga merayakan kebersamaan dan mengartikulasikan harapan atas tatanan yang lebih adil. 

Politik tampil dalam bentuk yang lebih manusiawi –bukan lewat pidato dan debat yang membara, melainkan melalui tawa, musik, dan tubuh yang menari bersama dalam suasana yang riuh tapi hangat.

Ketika tumbuh di ruang-ruang komunitas, seni memperkuat jaringan sosial, menumbuhkan empati, dan membangun daya lenting bersama. Karena itu, mendukung kesenian lokal sejatinya berarti menanam modal pada kohesi sosial –sesuatu yang nilainya jauh lebih bertahan lama daripada capaian angka GDP atau target investasi. 

Pembangunan yang diukur lewat pajak, dana APBD, atau jumlah wisatawan hanyalah gambaran permukaan –yang benar-benar menjaga keberlanjutan sebuah kota adalah kualitas hubungan antarmanusia: rasa percaya, kebersamaan, dan ruang untuk saling peduli. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: