Ketika Kedaulatan Terkangkangi di Pintu Masuk Udara RI, Siapa Bertanggung Jawab?
ILUSTRASI Ketika Kedaulatan Terkangkangi di Pintu Masuk Udara RI, Siapa Bertanggung Jawab?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BEBERAPA HARI terakhir publik dikejutkan oleh kabar yang seharusnya tidak boleh terjadi di negara sebesar Indonesia. Yaitu, ada bandara yang beroperasi tanpa pengawasan penuh negara.
Bukan lapangan terbang kecil, bukan pula landasan darurat. Itu adalah bandara yang digunakan untuk pergerakan pekerja, logistik industri, bahkan transportasi reguler, tetapi di luar kendali penuh negara.
Untuk tidak ikut-ikutan menyebut ”negara dalam negara”, kita sebut saja ”bandara dalam negara”. Sebuah ironi yang terasa getir: di tengah ambisi Indonesia menjadi kekuatan besar Asia, justru ada ruang-ruang yang terlepas dari radar formal kedaulatan.
BACA JUGA:Masyarakat Tak Bernegara: Menilik Ironi Kedaulatan dalam Republik
BACA JUGA:Kedaulatan Data RI: Menjaga Kerahasiaan Negara atau Komoditas Geopolitik?
Bagi saya, ini bukan sekadar kelalaian administratif. Ini sinyal keras bahwa negara sedang mengalami governance gap yang serius.
NEGARA TIDAK BOLEH DI-OUTSOURCE
Pertanyaan mendasarnya sederhana, tetapi menohok. Yaitu, bagaimana mungkin sebuah bandara (objek vital yang dalam hukum Indonesia ditempatkan sebagai kawasan strategis pertahanan) dapat berjalan tanpa kontrol penuh otoritas negara?
Jika bandara saja bisa ”diprivatisasi” secara de facto, bagaimana dengan sektor lain yang lebih tersembunyi? Negara tidak boleh di-outsource, apalagi pada titik-titik sensitif seperti pintu masuk udara.
BACA JUGA:Connie Bakrie: Bandara IMIP Morowali Berstatus Internasional
BACA JUGA:Wamenhub Tegaskan Bandara IMIP Berizin, Ada Otoritas Bandara Sampai Bea Cukai
Kita tidak sedang berbicara tentang perizinan A atau B, atau soal administrasi yang belum diperbarui. Kita berbicara tentang kedaulatan. Tentang fungsi negara yang paling elementer, yaitu mengawasi siapa yang keluar dan masuk, siapa yang terbang dan mendarat. Fungsi yang, kalau abai sedikit saja, berpotensi membuka celah keamanan nasional.
Ini bukan tuduhan. Ini kegelisahan seorang akademisi kebijakan publik yang percaya bahwa negara kuat adalah negara yang hadir dan mengendalikan sektor-sektor strategisnya.
DI ERA INDUSTRI RAKSASA, NEGARA TIDAK BOLEH KERDIL
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: