Masyarakat Tak Bernegara: Menilik Ironi Kedaulatan dalam Republik

ILUSTRASI Masyarakat Tak Bernegara: Menilik Ironi Kedaulatan dalam Republik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
ORANG boleh menganggap demonstrasi besar-besaran yang terjadi belakangan ini sebagai bumerang atau kecelakaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Bukan karena hak menyampaikan pendapatnya, melainkan karena anarkisme, kemarahan, kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang ikut menyertainya. Terlebih, di mata para pejabat yang cenderung menganggap dirinya benar dan merasa dirinya sudah concern terhadap urusan rakyat kecil.
Namun, mesti diakui bahwa semua yang terjadi telah memantik hikmah tentang hubungan antara masyarakat dan negara, sekaligus ironi tentang kedaulatan rakyat dalam republik.
BACA JUGA:Wujudkan Masyarakat Sehat, Ciptakan Generasi Andal
BACA JUGA:Masyarakat Ambigu, Bela atau Hukum Penjahat
Masyarakat kemudian makin tahu betapa para petinggi negara yang selama ini dieluk-elukan ternyata ekspektasinya jauh di luar asumsi rakyatnya sendiri. Semua itu akan menjadi kehati-hatian dalam menentukan politik di masa depan.
Lalu, apa yang sesungguhnya terjadi di ranah kehidupan republik ini sehingga disebut masyarakat tak bernegara? Dan, apa yang bisa dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara realitas pejabat dan idelitas rakyat?
MASYARAKAT TAK BERNEGARA
Dalam konteks Indonesia hari ini, realitas sosial menunjukkan paradoks yang kian menganga. Di satu sisi, negara berdiri dengan klaim sebagai pengatur, pelindung, pelayan, dan pembangun kesejahteraan bagi rakyat.
BACA JUGA:Masyarakat Tionghoa dan Perkembangan Kota di Indonesia
BACA JUGA:Agama dan Ideologi dalam Suatu Negara
Namun, di sisi lain, masyarakat justru kian dipaksa mengurus kehidupannya sendiri tanpa dukungan berarti dari institusi negara.
Fenomena itu menandakan munculnya kondisi yang oleh para ilmuwan sosial disebut sebagai stateless society atau masyarakat yang secara de facto hidup seakan tanpa negara (masyarakat tak bernegara) meski secara de jure masih berada di dalamnya.
Dari aspek ekonomi, misalnya, banyak keluarga hari ini bertahan hidup dengan kreativitas dan kerja kerasnya sendiri tanpa akses signifikan terhadap modal negara. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tumbuh bukan karena keberpihakan regulasi, melainkan karena dorongan survival mandiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: