Masyarakat Tak Bernegara: Menilik Ironi Kedaulatan dalam Republik

ILUSTRASI Masyarakat Tak Bernegara: Menilik Ironi Kedaulatan dalam Republik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Meme dan Negara yang Serius
BACA JUGA:Negara Gagal Membina Preman di Indonesia
Ironisnya, meskipun negara tidak memberikan modal awal, pajak dan pungutan tetap ditarik dari sisa (terutama) keringat rakyat (kecil). Hingga di sini, negara –meminjam istilah Charles Tilly (1990)– yang semestinya menopang perekonomian justru bersandar pada produktivitas masyarakat tanpa menanggung risiko apa pun.
Mereka lebih mudah menekan dan menaikkan pajak rakyat kecil daripada menagih pajak para konglomerat yang menguasai perekonomian.
Begitu pula dalam pendidikan. Masyarakat kelas bawah harus mengandalkan lembaga swasta, beasiswa swadaya, atau bahkan komunitas belajar berbasis masyarakat karena fasilitas pendidikan publik tidak merata dan sering kali tidak berkualitas.
BACA JUGA:Korupsi di Pertamina, Jalan Menuju Kehancuran Negara?
BACA JUGA:Keputusan Negara Bisa Berubah karena Kekuatan Media Digital
Banyak keluarga mendidik anaknya melalui jalur alternatif, bahkan homeschooling, sebagai bentuk perlawanan diam-diam terhadap sistem pendidikan formal yang dianggap gagal menyiapkan generasi (Ivan Illich, Deschooling Society, 1971).
Dengan kata lain, rakyat mendidik dirinya sendiri, sedangkan negara lebih sibuk menata kurikulum (yang terkadang) demi kepentingan birokrasi ketimbang menjawab kebutuhan zaman. Belum lagi, sekolah-sekolah swasta yang dianaktirikan, kalau bukan dikerdilkan, dari sekolah negeri.
Guru-guru swasta membesarkan dan membiayai lembaganya sendiri. Sementara itu, sekolah negeri ditanggung penuh oleh negara, termasuk kesejahteraan gurunya. Padahal, keduanya memiliki andil jasa yang sama dalam mencerdaskan anak bangsa.
BACA JUGA:Paradoks Empati terhadap Koruptor: Mempertaruhkan Logika Keadilan dan Moralitas Negara
BACA JUGA:Muhammadiyah, Negara Pancasila, dan Darul Ahdi wa Syahadah
Secara politik, relasi negara-rakyat juga tampak makin timpang. Aturan hukum kerap dibuat demi melanggengkan kekuasaan elite, bukan untuk melindungi hak warga.
Ironi mencapai puncaknya ketika senjata yang dibeli dari pajak rakyat justru diarahkan untuk menakut-nakuti, bahkan melukai rakyatnya sendiri.
Fenomena itu pernah dicatat Hannah Arendt dalam On Violence (1970) sebagai bentuk transformasi kekuasaan menjadi kekerasan, di mana legitimasi hilang tetapi represi tetap dipertahankan dengan instrumen koersif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: