Emotion Funnel Kasus Ronald Tannur

Emotion Funnel Kasus Ronald Tannur

ILUSTRASI teori Emotion Funnel kasus Ronald Tannur.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Diungkap, 95 persen orang sedunia tidak dapat membedakan antara marah dan kecewa. Padahal, pengetahuan itu sangat penting untuk meredam kemarahan. Data tersebut dikutip Kruse dari hasil riset pakar kecerdasan emosional AS, Marc Brackett, yang mengejutkan para ilmuwan di sana.

Disebutkan, perbedaan antara marah dan kecewa terletak pada rasa keadilan. Orang marah jika hatinya tersakiti karena merasa diperlakukan tidak adil. Orang kecewa jika hatinya tersakiti akibat suatu perlakuan adil.

Ilustrasi: A melamar pekerjaan, kemudian mengikuti ujian agar bisa dapat pekerjaan tersebut. Akhirnya A tidak lulus ujian sehingga tidak diterima di sana. Tapi, teman A, katakanlah B, lulus ujian dan diterima di sana.

Kemudian, A yang sakit hati menganalisis. Ia merasa lebih pintar daripada B. Hasilnya kok bisa begitu? Ternyata, B diterima di tempat kerja tersebut karena bantuan ”orang dalam”. Akibatnya, si A marah karena merasa diperlakukan tidak adil.

Seandainya B lulus ujian karena nilai ujiannya bagus dan tidak punya koneksi ”orang dalam”, A merasa kecewa. Bukan marah. Ia tahu diperlakukan adil karena hasil ujian B lebih bagus darinya, maka hati A tersakiti sehingga ia kecewa. 

Orang kecewa tidak berbahaya buat orang lain. Orang marah bisa sangat berbahaya bagi orang yang menyakiti hatinya.

Dilanjut, Kruse membikin teori yang ia sebut Emotion Funnel. Teori untuk meredam kemarahan. Sangat detail, diukur dengan angka-angka. Tapi, intinya, ia membuat tiga pertanyaan buat orang yang sedang marah. Begini: 

Pertama, apa yang Anda rasakan ketika marah? Jawabnya bisa beragam. Intinya, ”Saya merasa tidak enak badan. Pikiran kalut, ogah makan, sulit tidur, ingin membunuh orang yang membuatku marah.”

Kedua, mengapa? Jawabnya juga bervariasi. Misalnya, ”Karena orang itu berbuat tidak adil padaku.”

Ketiga, jadi, sekarang kamu mau bagaimana? Jawabnya juga banyak. Misalnya, ”Ya…. Orang itu akan saya gebuki. Kalau perlu sampai ia pingsan.”

Cukup. Sampai di sini, tulis Kruse, si pemarah akan berpikir. Merenungi rencana perbuatannya di saat ia marah. Ia akan membalas dendam. 

Berdasar riset Kruse, setelah tiga pertanyaan itu diajukan si pemarah terhadap diri sendiri dan dijawab sendiri, tingkat kemarahan bakal turun lebih dari 50 persen jika dibandingkan dengan saat sebelum adanya tiga pertanyaan itu. 

Walaupun, bisa saja orang itu tetap bertindak agresif menyerang orang yang menyakiti hatinya. Tapi, kadar serangannya sudah turun lebih dari 50 persen.

Dikaitkan dengan kasus Ronald, apakah ia marah atau kecewa terhadap Dini? Dilihat dari hasil akhirnya, jelas ia marah. Seumpama menerapkan teori Emotion Funnel, Ronald bakal tersadarkan pada pertanyaan nomor dua: Mengapa ia mau memacari Dini? Mengapa tidak putus saja, you-me end, lantas cari yang lain?

Jangan terlalu banyak teori. Sebab, marah tak perlu teori. Memang. Tapi, kalau Anda ingat teori ini, kemarahan Anda bakal teredam lebih dari 50 persen. Orang terselamatkan, Anda pun selamat. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: