Ramadan Kareem 2025 (17): Belajar Takwa Semesta

Ramadan Kareem 2025 (17): Belajar Takwa Semesta

Mari bersama-sama membuncahkan keyakinan, semesta memang selalu bertakwa, takwa semesta, tak pernah murtad, tak mengingkar Tuhannya. Barakallah. Ramadan Kareem. --iStockphoto

Apabila ada pihak yang mengingkari Ketuhanan Yang Maha Esa dengan meyakini Komunis, berarti ada “sinopsis” dalam religi yang dikualifikasi murtad.

Tetapi kalau mereka “berselingkuh” dengan meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa berbarengan dengan Komunisme sebagai “tauhidnya”, tentu bukan murtad tetapi “syirik” yang berlabirin “musyrik”: dua “Tuhan” dihadirkan dalam satu jiwa iman.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (8): Sepekan Keindahan

Inilah torehan jiwa-jiwa yang bingung dalam menemukan panduan hidup (atau merasa sebagai orang yang berpandangan kosmopolitan). Pada titik ini saya melanjutkan saja membaca novel apik garapan Nikolai Vasilievich Gogol, The Dead Souls (2012).

Jiwa-jiwa mati tergambar gampang memanipulasi diri dalam selubung ambisi “tanpa tahu jatidiri”. Manusia memang dapat memasuki keadaan yang amat sulit. Emosinya bisa meledak dan meledek dengan respon yang temperamental, termasuk dalam memposisikan pikiran atas status kewarganegaraannya.

NKRI jelas berdasarkan Pancasila dengan pengakuan terhadap keesaan Tuhan, tanpa reserve. Ini konsekuensi logis pilihan menjadi WNI. Dan saya percaya bahwa pembaca adalah WNI yang berjiwa Pancasila.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (7): Revolusi Ramadan

Kalaulah ada yang mengusik sekaligus “menyelingkuhi” Pancasila, patut diduga ada “problema emosi” sikap bernegaranya. Mengikuti pandangan Jean-Paun Sartre dalam karya pentingnya Theory of The Emotions (1962): emosi bukanlah karakter yang tetap, karena emosi bukan bagian dari esensi manusia.

Emosi berlangsung fluktuatif tergantung keadaan yang dihadapi subjek. Pada tataran ini luangkanlah iktiar berdakwah dengan meluaskan oase “hati yang menyamudra” untuk tidak lelah “menginsyafkan” mereka yang “menduakan” atau “menetralkan” kepercayaannya kepada Pancasila.

Sebagai WNI merupakan opsi manusia. Tatkala manusia itu “menundukkan” diri pada “pelukan” NKRI, sudah seharusnya dia hanya satu kesetiaan, satu janji kepada Pancasila. Tidak “murtad”, tidak “syirik”, dan tidak “musyrik” terhadap sumber dari segala sumber hukum nasional itu.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (6): Ramadan adalah Kita

Pilihan kata yang beratribut keagamaan  dalam diskusi “kampungan” itu hanyalah sebagai penjelas agar mudah diterima “santri langgaran” dalam membangun pemahaman berpancasila. Rujukan dialog kelas “mushollah gang sempit” ini tetap memiliki target iman yang luar biasa.

Kepada manusia WNI yang acapkali bersikap ganda terhadap asas negaranya diberi isyaroh tentang makhluk cipta Tuhan yang berupa alam semesta dengan mengambil segmen jaringan galaksi di titik kosmologi Bima Sakti.

Seluruh planet yang ada di sistem Tata Surya ternyata selalu beriman kepada Allah SWT. Mereka beredar dalam poros yang telah ditetapkan. Tidak ada yang mau mengingkarinya.

BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (5): Bulan Distribusi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: