Ramadan Kareem 2025 (18): Banjir yang Terundi

Ramadan ini datang dengan penuh keberkahan yang terbuka lebar. Disambut hadirnya gubernur baru meski berasal dari petahana yang telah dilantik 20 Februari 2024 lalu. --iStockphoto
Seluruh pengamal Pancasila mengerti bahwa hujan itu nikmat dan anugerah, bukan laknat dan prahara. Kenapa di musim penghujan, banjir menipa dengan menyuguhkan duka, merusak infrastruktur transportasi, dan gagalnya panen petani.
Termasuk nyawa yang melayang, sehingga menimbulkan sesal yang mengurangi rasa syukur atas karunia iklim tropis yang dibentangkan Tuhan.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (10): Ramadan dan Daun Sang Mahacinta
Problematika jalan berlubang sambung menyambung menjadi satu jalinan yang mengganggu kepentingan umum dengan menyalahkan hujan yang datang. Lantas apa yang dilakukan oleh pemegang otoritas negeri ini?
Rusaknya jalan yang setiap hari diberitakan sungguh suatu fakta yang membawa nestapa, menyembulkan derita yang berada di luar proyeksi pengambil kebijakan. Tingginya tingkat curah hujan selalu menjadi alasan.
Penyelenggara negara musti paham bahwa penyebab utama banjir dan kerusakan jalan bukanlah air hujan, melainkan buruknya kinerja manajemen pembangunan di level pemerintahan.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (9): Menghindari Talbis Iblis
Kita terlalu abai atas kondisi ekologis meski meraih beragam penghargaan lingkungan. Telah dikisahkan potret perkotaan yang tengah mengidap penyakit kronis yang mendukacitakan.
Daya tahannya terus melemah secara berlahan, tetapi pasti. Desa-desa bergerak menjadi kota yang seolah mengerang sebelum akhirnya takdir membisikkan kekecewaan di tengah gemerlapnya mozaik gedung dan perkantoran.
Perspektif yuridis menginformasikan betapa rapuh perlindungan lingkungan sewaktu berhadapan dengan investor. Konservasi perkotaan digerus secara terencana. Sungai-sungai sebagai urat nadi acapkali ditutup (box culvert) yang tidak sehaluan dengan wawasan go green.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (8): Sepekan Keindahan
Biota air mati dan tanaman toga di sepanjang sepadan kali musnah tak berbekas. Aroma yang tercium adalah hembusan pekabaran tentang Bumi Pertiwi yang sedang bunuh diri ekologi (ecological suicide).
Kota-kota di Indonesia menyuguhkan pentas penjungkirbalikan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan landasan topografisnya. Kekayaan alam di berbagai daerah juga dikuras dalam tingkat kerakusan yang membahayakan generasi mendatang.
Kemiskinan pun terjadi pada daerah yang kaya tambang. Dalam kosmologi kehidupan jelas bahwa kondisi tersebut membutuhkan hadirnya seorang pemimpin yang membangun wilayahnya berdasarkan kondisi ekologisnya.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (7): Revolusi Ramadan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: