Mencermati Vonis Ringan Hukuman Korupsi Timah, Dibutuhkan Hakim 'Gila' untuk Kasus Korupsi
ILUSTRASI Mencermati Vonis Ringan Hukuman Korupsi Timah, Dibutuhkan Hakim 'Gila' untuk Kasus Korupsi. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Pengeroyok Jurnalis Divonis Ringan, Jaksa Banding
BACA JUGA:Kejagung Tetapkan 5 Tersangka Korporasi Dalam Kasus Korupsi Timah
Semestinya terdakwa mendapatk vonis hukuman maksimal, minimal 20 tahun atau seumur hidup. Vonis 6,5 tahun dipotong masa tahanan. Jika setahun dapat remisi 2-3 kali, kurang lebih hanya setahun saja sang koruptor mendekam di penjara.
Vonis super-ringan atau bebasnya tersangka korupsi miliaran rupiah tersebut tidak hanya melukai rasa keadilan masyarakat, tapi juga melawan arus dan semangat pemberantasan korupsi. Itulah gambaran jika kasus korupsi menimpa para ”the have”, apalagi pejabat, hukum begitu tumpul menjeratnya.
Mereka berpotensi mendapat vonis ringan. Sementara itu, jika kasus korupsi atau pidana lain menimpa orang kecil, hukum begitu kerasnya. Penegakan hukum bagaikan sebilah pedang: tajam ke bawah, tumpul ke atas.
BACA JUGA:Kejagung Periksa Empat Pejabat ESDM Terkait Kasus Korupsi Timah PT Timah Tbk
Munculnya putusan lembaga pengadilan yang tidak adil dan melukai rasa keadilan masyarakat dalam penanganan kasus korupsi disebabkan adanya para pihak yang berusaha mencari celah-celah hukum dan menghalalkan berbagai cara untuk memengaruhi perkara di pengadilan.
Dengan begitu, praktik suap, sogok, dan ”main mata” bukan lagi sesuatu yang rahasia di dunia peradilan kita. Ada potensi terjadinya judicial corruption, yakni kebanyakan terdakwa berhasil membeli para penegak hukum (terutama hakim), sehingga putusannya sangat menguntungkan terdakwa (Maraks dan ICW, 2004).
Praktik mafia hukum dan peradilan itu seperti kentut. Baunya terasa ke mana-mana, tetapi sulit dibuktikan.
BACA JUGA:Pj Gubernur Babel: 5 Smelter Hasil Sitaan Korupsi Timah Bakal Dikelola Negara
BACA JUGA:Ini Sumber Kekayaan Harvey Moeis, Suami Sandra Dewi yang Tersangka Korupsi Timah
Menurut pakar hukum pidana UI, Harkristuti Harkrisnowo (2004:4), kondisi semacam itu disebabkan, pertama, sang koruptor sangat canggih dan mafhum dengan legal jargon dan trik di Indonesia sehingga mereka mampu menyelabui perilaku koruptifnya dari jeratan hukum.
Kedua, para jaksa selaku penyidik dan penuntut umum kurang bersemangat, serius, dan canggih dalam melakukan investigasi dan penyusunan surat dakwaan yang layak untuk diajukan ke pangadilan.
Ketiga, bukti-bukti sahih yang diperlukan jaksa penuntut umum (JPU) untuk menyeret pelaku korupsi ke pangadilan sangat sulit ditemukan. Selain itu, para hakim tipikor tidak memiliki semangat dan keberanian antikorupsi. Akibatnya, terdakwa korupsi divonis super-ringan, bahkan bebas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: