Cerita Diaspora oleh I.G.A.K Satrya Wibawa (3): Belajar pada Sopir Bus

Cerita Diaspora oleh I.G.A.K Satrya Wibawa (3): Belajar pada Sopir Bus

Bus di Paris adalah transportasi publik yang penting dan efektif untuk berkeliling kota. Ada dua jenis bus utama: bus umum dan bus wisata (hop-on hop-off). Halte di Paris disebut arrêt de bus atau station de bus. --I.G.A.K Satrya Wibawa

Satu anggukan, satu ungkapan ringan dalam bahasa lokal, bisa membuka percakapan atau kepercayaan yang tak bisa dibangun lewat email formal. Jadi bisa saja saya menganggukkan kepala sambil tersenyum sepanjang percakapan, dan saya tidak paham apa yang disampaikan. Yang penting lawan bicara tidak merasa diabaikan. 

BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (1): Gurihnya Merintis Jualan Tempe di Inggris

Bulan pertama saya di Paris adalah bulan penuh belajar ulang. Belajar mengucapkan "bonjour" dengan intonasi yang benar, bukan seperti Google Translate. Belajar bahwa “je vous en prie” bukan sekadar "you’re welcome", tapi ekspresi elegan dari keramahtamahan yang melembutkan ruang negosiasi. 

Namun, ada kalimat andalan saya. ”Bonjour, je viens d’apprendre le français. Je ne parle que l’anglais. Parlez-vous anglais ?” – "Halo, saya baru belajar bahasa Prancis. Saya hanya bisa bahasa Inggris. Apakah Anda bisa bahasa Inggris?”.

Itupun, saya harus waspada. Karena sering kali lawan bicara tetap nyerocos dengan bahasa Prancis. Mungkin pikir mereka, ”Anda bilang nggak bisa bahasa Prancis tapi dalam bahasa Prancis”.

BACA JUGA: Sumur dan Matahari (7): Jatuh Cinta itu Tidak Lebih Indah dari Masuk Penjara


⁠⁠Mendampingi Menko Ekonomi Airlangga Hartarto yang diundang sebagai narasumber di forum World Engineering Forum di UNESCO.--I.G.A.K Satrya Wibawa

Sebenarnya, saya ingin sekali kursus. Bukan demi nilai atau sertifikat, tapi demi memahami lebih dalam lanskap sosial tempat saya mewakili Indonesia.

Belajar bahasa bukan hanya untuk berbicara tapi untuk mendengar. Tapi waktu yang tersedia tidak memungkinkan. Sehingga saya lebih mendengarkan pengumuman di bus, metro, atau mendengarkan secara seksama.

Saya menyimpulkan bahwa bahasa Prancis itu rumit minta ampun. Ada huruf tertulis, tapi tidak dibaca. Lah ngapain ditulis? Dibacanya beda dengan apa yang ditulis. Belum lagi beda nada sengau.

BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (2): Di Antara Benang dan Kata

Namun, tentu itu adalah bagian dari pembelajaran. Sehingga kadang, dalam bus kota, saya sering komat-kamit mencoba mengikuti apa yang diucapkan sopir saat menyebutkan halte berikutnya. Apakah berhasil? Tentu saja tidak, saya salah semua.

Dari semua pelajaran diplomasi selama lima bulan pertama ini, justru pelajaran paling manusiawi yang membekas yakni: kerendahan hati untuk belajar bahasa orang lain adalah bentuk tertinggi dari penghormatan. Dalam hubungan antarbangsa, rasa hormat adalah fondasi dari semua bentuk kerja sama. 

Partner dari Prancis pun menyatakan rasa hormatnya. Kata mereka, “Vous essayez, c’est déjà très bien” - Anda mencoba, itu saja sudah sangat baik.

BACA JUGA: Masjid Ikon Surabaya (26): Muslim Tionghoa Di Balik Berdirinya Masjid Cheng Ho

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: