Otak Busuk

Otak Busuk

Ilustrasi brain rot. Oxford University Press menobatkan brain rot sebagai Word of the Year 2024.-Arya-Harian Disway-

Dalam takaran tertentu, konten di media sosial memang bisa menjadi semacam rest area. Tempat orang beristirahat setelah seharian dikepung tumpukan pekerjaan yang bisa jadi menjemukan. Namun, faktanya durasi kita scrolling media sosial tanpa henti menjadi lebih lama dari pekerjaan yang seharusnya kita lakukan secara serius.

Hal tersebut memang bisa didebat. Data We Are Social pada Januari 2024 menunjukkan bahwa rata-rata durasi orang menggunakan media sosial adalah 2 jam 23 menit. Kalau dibandingkan dengan durasi bekerja yang 8 jam sehari, penggunaan media sosial tentu hanya seperempatnya. Itu kalau dihitung durasi jamnya.

Pertanyaan berikutnya adalah: dalam durasi 8 jam bekerja itu, berapa jam yang memang kita benar-benar ’’bekerja?’’

Harus kita akui, tidak banyak—atau tidak ada—orang yang kecanduan bekerja. Kini, yang mewabah justru kecanduan media sosial. Ketika kita tanpa henti scrolling media sosial, memberi asupan otak dengan konten-konten yang tidak bermutu. Ujungnya adalah brain rot.

Selain menyebabkan brain rot, Anda juga bisa menjumpai konten-konten media sosial yang menunjukkan brain rot di sejumlah kalangan. Tengok saja, betapa banyak konten ala kuis yang memperlihatkan betapa parahnya kita—baik generasi muda atau generasi yang lebih tua.

Pertanyaan-pertanyaan kuis sederhana semacam ibu kota negara-negara ASEAN tidak mampu dijawab oleh mahasiswa. Hitung-hitungan dasar untuk anak SD juga tidak bisa diselesaikan secara benar oleh siswa SMA.

Yang terbaru adalah video wawancara Dedi Mulyadi yang baru terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat. Dedi terlihat gemas karena melihat siswa SMA yang kebingungan menghitung jumlah bulan dalam dua tahun. ’’Kalau satu tahun kan 12 bulan. Kalau dua tahun berapa bulan?” tanya Dedi. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyum tipis dan tatapan bengong. Aduh, gemasnya!

Begitu banyaknya konten sampah yang menjadi viral, akhirnya membuat orang ’’rela nyampah’’ agar beken. Agar diundang ke program-program televisi. Agar dapat cuan.

Lingkaran itu, sekali lagi, membuat konten brain rot menjadi lestari…

Karena itulah banyak negara mencoba membatasi asupan media sosial. Sejak 2021, Tiongkok sudah melarang anak di bawah 14 tahun untuk mengakses DouYin, versi lokal TikTok. Australia idem ditto. Pada November 2024, mereka melarang anak di bawah 16 tahun untuk memiliki media sosial. Dan itu akan segera ditiru oleh Yunani.

Indonesia kapan? Nah, itu. Senyampang belum ada kebijakan yang radikal untuk menangkal brain rot melalui media sosial, filter-nya memang masing-masing orang sebagai pengguna. Bagaimana setiap orang mampu membatasi diri untuk mencegah pembusukan otak. Bagaimana setiap insan bisa memilih asupan yang bermutu atau yang membodohi. Bagaimana orang menjadi piawai dalam membedakan konten serius dan konten satire atau parodi.

Memang, konten satire dimasukkan dalam tujuh tipe misinformasi dan disinformasi. Ia memang tidak membahayakan tapi punya potensi membodohi. Bisa dibayangkan jika kebodohan itu terjadi secara massal.

Filter yang lain adalah netiquette. Itu adalah panduan etika bermedia sosial yang pernah dicetuskan oleh Virginia Shea, penulis dan pengamat komunikasi digital dari Amerika Serikat.

Netiquette berisi 10 panduan berperilaku di media digital. Di antaranya adalah: bagikan ilmu dan keahlian, serta hormati waktu dan bandwidth orang lain.

Kita bisa melihat, betapa banyak orang-orang di sekitar kita yang mengganggu waktu dan bandwidth dengan menyebarkan konten yang receh. Konten yang enggak penting bagi orang lain, konten yang kadang terlalu privat dan personal. Misalnya, video ’’laporan’’ sudah mengepel rumah, joget, memanjat pohon, minum kopi. Atau konten lain yang membuat penerimanya berpikir, ’’Apaan, sih,…?”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: