Dari Reog ke Robot Angklung: Inovasi Menjaga Warisan Budaya di Era Digital

Dari Reog ke Robot Angklung: Inovasi Menjaga Warisan Budaya di Era Digital

Para peserta dan pembicara Bedah Buku Identitas, Inovasi, dan Intergenerasi yang menawarkan strategi pelestarian budaya. --Istimewa

Salah satu penulis buku, Saevasilvia, menawarkan gagasan baru: robot angklung. Ide ini menjadi jembatan antara kecintaan pada tradisi dan ketertarikan pada teknologi. “Biar anak-anak yang tumbuh dengan gawai juga bisa jatuh cinta pada getar bambu,” ujarnya. 


Bedah buku Identitas, Inovasi, dan Intergenerasi dengan para pembicara di Ruang Adi Sukadana, FISIP Universitas Airlangga. --Istimewa

Bagi para penulis, inovasi semacam ini membuktikan bahwa warisan budaya tak harus dibekukan dalam bentuk asli, melainkan bisa dialihwahanakan agar relevan bagi generasi baru.

Dari sisi kebijakan, Hartanti Maya Krisna dari Kementerian Kebudayaan RI menekankan pentingnya strategi yang menghubungkan akar lokal dengan panggung global. “Diplomasi budaya hari ini adalah diplomasi data, jejaring, dan cerita,” jelasnya. 

BACA JUGA: Daftar 10 Makanan dan Tradisi Kuliner Warisan Budaya Takbenda UNESCO

Menurutnya, pelestarian bukan hanya menjaga bentuk fisik seperti tarian atau kerajinan, tetapi juga memindahkan pengetahuan, keterampilan, dan makna yang terkandung di dalamnya kepada lintas generasi.

Pegiat budaya Reog Ponorogo, Andreanto Surya Putra, membagikan cerita bagaimana kesenian ini terus beradaptasi tanpa kehilangan martabat.

Salah satu tantangan ke depan adalah menemukan bahan ramah lingkungan untuk pembuatan Dadak Merak tanpa mengurangi nilai estetika dan kesakralannya. “Pemerintah harus hadir, bukan sekadar penonton, tapi penjaga arena,” tegasnya.

BACA JUGA: 4 Jenis Kebaya Encim Populer, Pesona Warisan Budaya Nusantara

Dari Paris, IGAK Satrya Wibawa, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, mengingatkan bahwa budaya adalah bahasa universal yang mampu melampaui sekat politik dan ekonomi. 


Satrya Wibawa, Wakil Delegasi tetap RI untuk UNESCO saat penyerahan batik kepada UNESCO sebagai bagian dari komitmen Indonesia dalam pelestarian batik. --Istimewa

“Kita punya segalanya, tapi tantangannya adalah bagaimana membuat dunia tidak hanya melihat, tapi juga memahami,” ujarnya. Di era literasi digital, diplomasi budaya berarti mengelola citra, narasi, dan makna di balik setiap karya.

Dina Septiani, penulis sekaligus pemantik diskusi, merangkum pesan utama acara ini dengan sederhana: tradisi membutuhkan dua hal — penjaga dan penutur. “Penjaga memastikan akar tetap kuat, penutur memastikan cabang terus tumbuh,” katanya. 

BACA JUGA: Tari dan Identitas Bangsa: Refleksi Hari Tari Internasional dan Masa Depan Warisan Budaya Indonesia

Baginya, teknologi dapat menjadi sekutu strategis agar kisah dan karya budaya Indonesia menembus batas geografis, bahkan memasuki ruang-ruang virtual tempat generasi muda dunia berkumpul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: