Perguruan Tinggi Nambang (PTN): Awal Kehancuran Dunia Pendidikan
Ilustrasi tambang bebatuan-Pixabay-
Namun, diberikannya hak pengelolaan tambang oleh PT berpotensi merusak sendi-sendi pelaksanaan PT. Sebab, hal tersebut dipengaruhi tekanan-tekanan eksternal, mulai pemerintah hingga oligarki, agar PT tunduk dan tidak menentang kepentingan-kepentingan mereka yang pada akhirnya membungkam suara dunia akademik.
Hal tersebut tentu berbahaya bagi praktik demokrasi dan esensi dunia pendidikan sebagai pilar demokrasi dan penyeimbang kekuasaan karena pendidikan tinggi menjadi transaksi politik.
TEKANAN POLITIK DAN KEBEBASAN AKADEMIK
Pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi akan membuat makin dekatnya perguruan tinggi dengan kekuasaan. Hal itu berpotensi pada daya kritik dan peran perguruan tinggi sebagai socio political sphere dalam tatanan demokrasi akan terganggu.
Dengan demikian, pada akhirnya proses checks and balances tidak berjalan. Apabila proses itu tidak berjalan, kekuasaan yang korup tidak bisa dibendung.
Frasa cara prioritas menjadi frasa yang sangat subjektif dan berpotensi menjadi transaksi politik dengan perguruan tinggi sebagaimana termaktub dalam Pasal 51A ayat (2) RUU Minerba menjadi koridor utama transaksi dagang sapi.
Yakni, perguruan tinggi akan melakukan tawar-menawar dengan pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam penerbitan izin. Tentunya, sinyal itu perlu diwaspadai dan dikritisi karena bisa menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan pembungkaman dunia akademik terhadap pemerintah yang korup.
Tekanan politik dan hukum dari pemerintah akan makin dirasakan apabila perguruan tinggi kritis terhadap pemerintah yang akan menjadikan political turbulence bagi dunia pendidikan, yang pada akhirnya pencopotan rektor, dekan, dan/atau pemecatan civitas academica karena telah melanggar komitmen politik yang telah dibuat antara oligarki pendidikan tinggi dengan pemerintah karena terlalu lantang dan kritis.
Selain itu, berkaca pada praktik penyalahgunaan sprindik (surat perintah penyidikan) yang dijadikan alat politik untuk membungkam lawan politik dan menurunkan gairah berdemokrasi menjadi alasan lain yang perlu diwaspadai.
Pemerintah bisa saja menjadikan sprindik sebagai alat politik ketika pucuk pimpinan kampus yang mengelola tambang, baik disengaja atau bahkan dalam bentuk kriminalisasi, melakukan pelanggaran hukum, baik korupsi maupun pelanggaran lainnya.
Pemberian izin usaha pertambangan kepada PT akan membuat perguruan tinggi makin dekat dengan kekuasaan. Hal itu berpotensi pada daya kritik dan peran perguruan tinggi sebagai socio political sphere dalam tatanan demokrasi akan terganggu.
Pada akhirnya, proses checks and balances tidak berjalan. Apabila proses checks and balances tidak berjalan, kekuasaan yang korup tidak bisa dibendung. Praktik itu harus dijauhi sebisa-bisanya dan menutup celah negatif semaksimal mungkin.
Oleh karena itu, apabila perguruan tinggi mendapatkan konsesi untuk mengelola tambang, kebebasan akademik menjadi pertaruhan utama bagi dunia pendidikan. Tentunya skenario politik hukum tersebut bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
WIUP BAGI PERGURUAN TINGGI INKONSTITUSIONAL
Mempertimbangkan kembali bahwa pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi akan memberikan dampak negatif lebih besar daripada dampak positif, sejatinya frasa dalam Pasal 51A perlu dibatalkan Baleg DPR RI selaku inisiator RUU Minerba.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: