Dipaksa Dewasa sebelum Waktunya: Normalisasi Eksploitasi Anak di Sekitar Kita

Dipaksa Dewasa sebelum Waktunya: Normalisasi Eksploitasi Anak di Sekitar Kita

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa ada lebih dari 800.000 anak yang masuk dalam kategori pekerja anak. -Istimewa-

HARIAN DISWAY - Mereka berdiri di lampu merah, menenteng kerupuk atau tisu, sambil memaksa senyum demi receh. Kita menyebutnya “bocah yang bantu orang tua”.

Padahal, itu adalah bentuk eksploitasi. Diam-diam, kita telah membiarkan anak-anak kehilangan masa kecilnya, dan menganggapnya hal yang wajar.

Di Indonesia, eksploitasi anak kerap dibungkus dalam narasi “belajar mandiri” atau “membantu ekonomi keluarga”. Banyak anak usia SD bahkan TK yang sudah disuruh berdagang, membantu di warung, menjadi pengamen jalanan, atau ikut orang tuanya menarik gerobak.

BACA JUGA: Biadab! 6 Anak Tewas Diserang Saat Ambil Air di Gaza, IDF Akui Salah Tembak Misil

Aktivitas yang seharusnya jadi tanggung jawab orang dewasa itu kini dibebankan ke bahu kecil yang bahkan belum selesai mengenal huruf abjad.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa ada lebih dari 800.000 anak yang masuk dalam kategori pekerja anak.

Dan mirisnya, angka ini hanya permukaan dari gunung es. Banyak kasus tidak tercatat karena aktivitas anak dianggap “ringan” atau terjadi dalam lingkup rumah tangga.

BACA JUGA: Suara Anak Kampung yang Membangun Negeri

Yang lebih mengkhawatirkan: budaya masyarakat masih menganggap hal ini sebagai bagian dari kehidupan. Ketika seorang anak ikut jualan, ia disebut rajin.

Ketika anak diajak kerja ke pasar sejak subuh, itu katanya “biar tahu hidup keras sejak kecil”. Narasi seperti inilah yang membuat eksploitasi anak terus diwariskan lintas generasi.

Beban bekerja sejak dini membuat banyak anak kehilangan akses terhadap pendidikan yang layak. Sebagian besar dari mereka tidak bisa fokus belajar karena lelah atau bahkan harus putus sekolah. Padahal pendidikan adalah salah satu kunci memutus rantai kemiskinan.

BACA JUGA: Bertaut Rindu: Ketika Luka Keluarga Disembuhkan oleh Cinta dan Gambar

Di sisi psikologis, anak-anak yang dipaksa bekerja juga berisiko mengalami trauma emosional. Psikolog anak Dr. Novi Puspitasari menyebutkan bahwa banyak anak yang menunjukkan tanda-tanda stres, cemas berlebihan, dan tidak percaya diri, terutama mereka yang dipaksa bertanggung jawab sebelum waktunya.

“Mereka tumbuh dengan luka yang tidak terlihat, tapi memengaruhi seluruh masa depannya,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: