Pendidikan Vokasi Saatnya Unjuk Gigi

Pendidikan Vokasi Saatnya Unjuk Gigi

ILUSTRASI Pendidikan Vokasi Saatnya Unjuk Gigi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Ada beberapa tantangan yang berdampak pada kontribusi institusi vokasi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan memengaruhi kualitas lulusan. 

Pertama, kekurangan fasilitas dan peralatan modern. Sebagian institusi masih mengandalkan alat usang yang tidak relevan dengan kebutuhan industri saat ini. 

Padahal, sebagaimana diketahui bersama, pembelajaran berbasis praktik memerlukan peralatan yang memadai dan mutakhir. 

Sebagian besar lembaga pendidikan vokasi, terutama yang berada di daerah terpencil, baik di Jawa maupun luar Jawa, belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai, padahal alat berat dan mesin industri sudah makin canggih (Suharno, 2020). 

Kondisi tersebut diperparah dengan masih rendahnya kompetensi lulusan sekolah kejuruan di Indonesia.

Kedua, kualitas tenaga pengajar yang belum mumpuni dapat menghambat proses transfer of knowledge. Tenaga pengajar harus memiliki pengalaman industri yang relevan dan pelatihan khusus agar dapat menciptakan pembelajaran yang efektif dan tepat sasaran.  

Persepsi tentang lembaga pendidikan dipengaruhi, salah satunya, kualitas pengajaran dan quality of college life (kualitas kehidupan kampus) (Pillay, 2010). 

Kualitas tenaga pengajar yang belum mumpuni dikhawatirkan dapat memperburuk persepsi masyarakat. Menurut Kurniawan (2016), di Indonesia pendidikan vokasi masih dianggap sebagai pendidikan kelas dua. 

Ketiga, kesenjangan antara kurikulum yang diajarkan dan kebutuhan dunia kerja. Kendati pemerintah telah mengampanyekan kurikulum yang link and match antara dunia pendidikan dan DUDI, kesenjangan masih dapat ditemukan di sebagian lembaga pendidikan vokasi. 

Menurut Russel (2018), DUDI memang menerima lulusan vokasi untuk bekerja. Namun, mereka mengeluh tentang inkompetensi lulusan tersebut. Forum Ekonomi Dunia Swedia pada 2016 menyebutkan bahwa daya saing lulusan sekolah kejuruan memprihatinkan, yakni hanya 10 persen di tingkat global. 

Jika pemerintah dan semua pemangku kepentingan tidak segera mengatasi persoalan itu, lulusan pendidikan kejuruan Indonesia akan kehilangan 65 persen kesempatan kerja di era yang makin kompetitif (Suharno, 2020).  

Tiga tantangan tersebut dapat diselesaikan dengan membangun kolaborasi dan sinergisitas antara pemerintah, industri, dan institusi pendidikan. 

Pemerintah di bawah Kabinet Merah Putih perlu menyediakan dana dan perlindungan yang cukup, sedangkan industri diharapkan dapat berkontribusi melalui kemitraan strategis seperti program magang untuk mahasiswa vokasi. 

Kolaborasi yang baik dapat mencetak sumber daya manusia unggul yang siap menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja. 

Kini sudah saatnya pendidikan vokasi unjuk gigi mengubah tantangan menjadi peluang agar lebih relevan, kompetitif, dan siap mencetak sumber daya manusia unggul. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: