Mengenal Fenomena Cancel Culture Pada Era Digital

Mengenal Fenomena Cancel Culture Pada Era Digital

Fenomena cancel culture yang marak terjadi di era digital saat ini. --freepik.com

Dengan algoritma yang mendukung viralitas, sebuah isu dapat meluas secara masif dalam waktu singkat.

BACA JUGA:Fenomena Cancel Culture: Dampak, Kontroversi, dan Relevansinya di Era Digital

Media sosial di era digital memudahkan persebaran informasi secara luas. --freepik.com

Dinamika Media Sosial dan Cancel Culture

1. Cepatnya penyebaran informasi: Media sosial memungkinkan suatu kasus atau opini menjadi viral dalam hitungan menit. Hal itu dapat mengubah persepsi publik secara drastis tanpa adanya proses verifikasi yang memadai.

2. Anonimitas dan keberanian digital: Banyak pengguna media sosial yang berani mengungkapkan kritik. Atau serangan terhadap seseorang karena merasa aman di balik layar. Hal itu mempercepat persebaran cancel culture tanpa batasan yang jelas.

3. Algoritma yang mendorong polarisasi: Platform digital cenderung menampilkan konten yang mendukung pandangan pengguna.

Sehingga menciptakan gelembung informasi yang memperkuat opini tertentu. Itu membuat cancel culture semakin sulit dikendalikan. Karena muncul efek domino dari reaksi publik.

BACA JUGA:Dipastikan Main di Sad Tropics, Kim Seon-ho Menang Melawan Cancel Culture

Dampak Cancel Culture dalam Dunia Digital

  • Dampak sosial: Masyarakat menjadi lebih sensitif terhadap isu-isu sosial, tetapi juga lebih reaktif dalam menjatuhkan sanksi moral terhadap individu atau institusi.
  • Dampak personal: Individu yang terkena cancel culture sering mengalami tekanan psikologis, kehilangan pekerjaan, atau bahkan kehilangan hak bersuara di dunia maya.

  • Dampak ekonomi: Brand atau perusahaan yang terseret dalam kontroversi sering kali mengalami boikot massal yang berdampak pada penurunan pendapatan.

Menghadapi Cancel Culture dengan Bijak


Hadapi keberadaan cancel culture di era digital secara bijak. --freepik.com

Cancel culture pada era digital memerlukan keseimbangan antara akuntabilitas dan keadilan. Untuk itu, masyarakat perlu:

1. Menyaring informasi dengan cermat: Tidak semua berita yang viral benar adanya. Verifikasi dan pemahaman konteks sangat diperlukan sebelum mengambil sikap.

2. Memberikan ruang untuk klarifikasi: Sebelum menghakimi seseorang, penting untuk mendengarkan perspektif dan penjelasan mereka.

BACA JUGA:Cancel Culture Seharusnya Pandang Bulu

3. Mendorong diskusi sehat: Daripada sekadar menghukum, lebih baik membangun diskusi yang mendidik agar menghasilkan perubahan yang lebih konstruktif.

Cancel culture bukan sekadar tren sementara. Melainkan refleksi dari perubahan pola komunikasi di era digital.

Masyarakat saat ini memiliki kekuatan lebih besar untuk menuntut akuntabilitas dari individu atau institusi yang memiliki pengaruh.

BACA JUGA:Mengatasi Toxic Work Culture

Namun, di sisi lain, tanpa mekanisme yang jelas dan etika yang kuat, cancel culture dapat berubah menjadi alat penghukuman yang tidak terkendali. Itu merugikan banyak pihak.

Dengan semakin berkembangnya teknologi dan pola komunikasi, penting bagi kita untuk memahami bagaimana cancel culture bekerja. Serta bagaimana kita dapat menggunakan media sosial dengan bijaksana.

Membangun ruang diskusi yang lebih inklusif dan memberikan kesempatan bagi individu untuk belajar dari kesalahan adalah langkah penting dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan adil bagi semua. (*)

*) Mahasiswa magang dari prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: