Hashtag Kabur Aja Dulu, Fenomena Brain Drain?

ILUSTARSI Hashtag Kabur Aja Dulu, Fenomena Brain Drain?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Penjelasan tersebut memberikan pengertian brain drain yang ditujukan pada migrasi kaum terampil atau profesional atau intelektual (skilled migrant).
Pengertian skilled migrant mencakup di dalamnya ilmuwan dan peneliti, konsultan internasional, manajer, seniman, artis, operator, atlet, pekerja dengan kualifikasi khusus, personel militer, dan mahasiswa (Todisco et al).
Migrasi kaum intelektual terjadi hampir di semua negara, terutama dari negara miskin dan berkembang. Negara miskin seperti Albania pada 2005 memiliki 25 persen penduduk yang berada di luar negeri.
Negara-negara berkembang seperti India, Tiongkok, Pakistan, dan Filipina mengalami eksodus kaum intelektual ke AS dan Eropa Barat. Bahkan, AS yang memiliki hubungan luar negeri tidak harmonis dengan lran, pada 1991, memiliki 220.000 migran lran yang 77 persennya adalah migran terdidik.
Hal yang sama dialami negara-negara di Karibia, yang kehilangan 10-40 persen dari angkatan kerjanya karena pindah ke negara-negara OECD. Brain drain juga terjadi di negara-negara konflik. Contohnya, keluarnya para ilmuwan dari Yugoslavia pada 1990-an menuju AS dan Eropa.
Keberadaan brain drain umumnya menguntungkan negara maju dan AS menjadi negara terbesar yang menikmati dampak positif brain drain atau mengalami brain drain net importer.
Bahkan, industri high-tech-nya sangat bergantung kepada migran Asia. Sementara itu, bagi negara pengirim, banyak studi yang mengaitkannya dengan remitansi, eksternalitas diaspora, return on investment pendidikan, dan perbaikan tata kelola pemerintahan, tetapi diperkirakan keuntungannya 5–10 persen, termasuk remitansi yang diterima sangat sedikit.
Begitu juga efek human capital, secara empiris di beberapa negara positif namun di beberapa negara tidak terjadi, bahkan brain drain turut menciptakan kemiskinan dan ketidakseimbangan pada dunia (Andrew Mountford dan Hillel Rapoport, The Brain Drain and the World Distribution of Income and Population, 2006).
PENTINGNYA ASPEK APRESIASI
Bagi lndonesia, fenomena brain drain diperkirakan mulai terjadi pada 1980. Perkembangannya meningkat pada 1990-an, ketika Habibie mulai mengirimkan remaja-remaja berbakat ke luar negeri.
Pada saat yang sama, AS mengalami masa keemasan ekonomi dan memberikan kebijakan gaji tinggi dan berbagai insentif seperti green card bagi pekerja imigran yang ahli dan berprestasi serta peningkatan anggaran bagi kampus-kampus.
Kebijakan tersebut menjadi daya tarik bagi para mahasiswa Indonesia untuk menetap dan bekerja di sana. Kemudian, ketika krisis pada 1998-an, banyak mahasiswa yang sudah lulus sekolah memilih bertahan di luar negeri daripada kembali ke Indonesia yang saat itu masih belum menjanjikan kejelasan masa depan.
Contoh lain dari fenomena brain drain terjadi pada SDM di Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Mereka disekolahkan ke luar negeri dan dididik untuk menjadi ahli pesawat terbang, ahli pemetaan, ahli satelit, dan ahli telekomunikasi.
Brain drain terjadi ketika Indonesia merestrukturisasi BPIS atas perintah IMF pada 1998 sehingga mereka menjadi penganggur, kemudian menyebar ke Jerman, Malaysia, Brasil, Turkiye, dan Timur Tengah.
Banyaknya tenaga ahli dan pelajar berbakat yang pindah dari Indonesia ke luar negari tentu merugikan negara karena secara tidak langsung negara kehilangan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang seharusnya dimanfaatkan untuk pembangunan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: