Hashtag Kabur Aja Dulu, Fenomena Brain Drain?

Hashtag Kabur Aja Dulu, Fenomena Brain Drain?

ILUSTARSI Hashtag Kabur Aja Dulu, Fenomena Brain Drain?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Karena itu, negara-negara yang sedang melangkah maju melalui kegiatan riset, seperti Malaysia dan Korea Selatan, justru melarang para ilmuwannya bekerja di luar negeri. Untuk itu, pemerintahnya memberikan fasilitas memadai untuk peneliti.

Menurut pakar, terdapat sejumlah faktor alasan pemicu terjadinya fenomena brain drain

Pertama, tawaran tempat tinggal yang lebih nyaman dengan karier layak. Para pelajar dan mahasiswa berbakat merasa mendapat penghargaan yang lebih tinggi atas kinerja mereka di negara lain. Baik itu dari segi gaji, jenjang karier, maupun fasilitas seperti rumah dan mobil yang telah disediakan. 

Mereka di luar negeri juga menempati posisi penting dan jelas. Berbeda dengan saat tinggal di negara sendiri, alasan sulitnya mencari kerja dan minimnya apresiasi serta fasilitas menjadi faktor pemicu. 

Kedua, alasan etnis tertentu mungkin merasa kurang nyaman untuk tinggal di negara asal mereka karena adanya diskriminasi. Hal itulah yang membuat kelompok tersebut memutuskan untuk migrasi ke negara lain demi kenyamanan. 

Begitu juga dengan alasan geografis yang menjadikan negara lain sebagai preferensi utama karena wilayah negaranya rentan gempa atau sulit mengakses layanan kesehatan dan lainnya. 

Ketiga, tidak sedikit yang mempertimbangkan aspek budaya akademis untuk meninggalkan negara sendiri. Terutama untuk kaum pelajar yang ingin menuntut ilmu lebih tinggi. 

Fasilitas akademis di negara asal yang dianggap kurang –misalnya, dana riset rendah– akan mendorong kaum terpelajar memilih untuk pindah ke negara yang mampu menyediakan dana penelitian yang melimpah.

Terdapat sejumlah kasus brain drain yang dialami beberapa negara di Asia, sebagaimana yang terjadi di India yang pernah mengalami brain drain pada 1960-an, saat ilmuwan dan tenaga ahli muda berkualitas memilih bekerja di luar negeri. 

Para lulusan dari Indian Institute of Technology memilih bekerja di negara maju seperti AS, Kanada, dan Inggris. Tak heran, kini banyak perusahaan hi-tech kondang yang mendunia yang dipimpin chief executive officer (CEO) berdarah India. 

Demikian pula yang dialami Tiongkok. Meski saat ini sudah berpredikat negara maju, Negeri Panda tersebut sempat mengalami fenomena brain drain pada 2011. Saat itu ada 1,06 juta mahasiswa yang kuliah di AS dan hanya kembali sekitar 275 ribu orang. 

Dengan mempertimbangkan aspek kerugian jangka panjang akibat brain drain yang bisa menggerus kualitas SDM dan sebagai unsur pendukung meraih visi besar pada 2045, pemerintah harus merekonstruksi kembali link and match dunia pendidikan dengan pasar kerja. Pasti bisa! (*)


*) Sukarijanto adalah anggota Association of South East Asia Strategic Management Community dan mahasiswa Program Pascasarjana (S-3) PSDM Universitas Airlangga.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: