Berpuasa Menahan Diri dari Maksiat Kekuasaan

Berpuasa Menahan Diri dari Maksiat Kekuasaan

ILUSTRASI Berpuasa Menahan Diri dari Maksiat Kekuasaan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

MEMBACA fenomena sosial yang mengiringi Ramadan 1446 H kali ini, sungguh memprihatinkan, seolah kita kembali ke zaman jahiliah. Fenomena itu menggambarkan kehidupan tauhid lebih didominasi oleh materialisme, kehidupan politik didominasi oleh kabilah-kabilah politik. Siapa yang kuat, merekalah yang mendominasi. Kehidupan sosial pun makin melampaui batas-batas kemanusiaan. 

Ketika menghadapi kehidupan yang seperti itu, Nabi Muhammad SAW menahan diri dan lebih memilih merenungkannya dengan menyepi di Gua Hira yang berada di puncak Jabal Nur.

BACA JUGA:Tetap Produktif Berkarya Selama Puasa Ramadan

BACA JUGA:Mengajari Anak Untuk Berpuasa Tanpa Paksaan

Lewat usaha itulah, kemudian Allah SWT menjawab dengan wahyu-Nya kepada Baginda Rasul Muhammad SAW, sekaligus mengangkatnya sebagai rasul akhir zaman tepat di usia 40 tahun. Wahyu itu berbunyi:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu yang menciptakan.

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia.

Yang mengajari (manusia) dengan pena.

Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. Al-Alaq:1–5)

BACA JUGA:Iktikaf Bersama, Puasa, dan Cinta Rasul

BACA JUGA:Momentum Puasa Ramadan: Jalin Hubungan Baik dengan Alam Semesta

Wahyu tersebut menjadi jawaban Allah SWT kepada hamba-Nya yang terpilih, manusia yang paling mulia di muka bumi, yakni Nabi Muhammad SAW. Karena sedang mengalami gunda gulana yang luar biasa saat membaca kondisi masyarakatnya yang jahiliah.

Pertanyaannya, mengapa Muhammad SAW harus mengasingkan diri? Di banyak riwayat diceritakan, kehidupan umat manusia kala itu sudah melampaui batas yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: