BUMDes dan KUD, Quo Vadis? setelah Nanti Koperasi Desa Merah Putih Hadir

ILUSTRASI BUMDes dan KUD, Quo Vadis? setelah Nanti Koperasi Desa Merah Putih Hadir.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Oleh karena itu, adanya Kopdes Merah Putih melahirkan harapan baru bagi masyarakat perdesaan untuk aktif berperan dalam geliat pembangunan ekonomi bangsa.
Bagaimanapun, keinginan pemerintah membangun koperasi di ribuan desa juga perlu mempertimbangkan sejumlah faktor yang berpotensi menjadi kendala dan tantangan di kemudian hari.
Pertama, mayoritas tingkat edukasi masyarakat perdesaan relatif rendah sehingga aspek pendampingan yang intensif dari bahasa, komunikasi, dan pola pendekatan agar kelangsungan program-program kopdes itu mampu mendapat tempat merupakan faktor substantif.
Terlebih, pendirian kopdes yang diinisiasi pemerintah harus benar-benar sesuai dan mencerminkan kebutuhan aspiratif mereka.
Kedua, pendirian Kopdes Merah Putih diharapkan sesuai dengan karakteristik ekonomi desa yang bersangkutan. Dengan begitu, keberadaannya menjadi motor penggerak ekonomi desa agar bisa menyerap produk-produk lokal unggulan desa tersebut seperti hasil pertanian, perikanan, atau peternakan.
Selain itu, koperasi tersebut akan berperan dalam menyediakan kebutuhan pokok masyarakat melalui gerai sembako, obat-obatan murah, apotek desa, serta fasilitas penyimpanan (cold storage), gudang (warehouse), armada transportasi, serta jaringan distribusi ke berbagai gerai penjualan.
Ketiga, pentingnya praktik-praktik manajemen keuangan yang mumpuni agar mampu mengelola sirkulasi keuangan kopdes agar terhindar dari potensi adanya kredit macet. Dari sejumlah pengalaman di masa lalu, banyak koperasi yang gulung tikar karena salah kelola.
Karena itu, adanya suntikan modal sebesar Rp 3 miliar–Rp 5 miliar tiap kopdes juga menuntut adanya pengawasan yang cermat untuk menghindari munculnya tindakan koruptif.
Keempat, kemungkinan terjadinya tumpang tindih dengan BUMDes relatif besar. BUMDes, yang telah menjadi instrumen utama pemberdayaan ekonomi desa, memiliki fungsi serupa dengan Kopdes Merah Putih. Maka, pembentukan entitas baru itu memunculkan pertanyaan tentang efisiensi dan potensi duplikasi di antara keduanya.
Pendanaan Kopdes Merah Putih bersumber dari alokasi dana Himbara memang besar dan sifatnya sementara serta bergantung pada kebijakan anggaran tahunan. Skema angsuran dengan Himbara membantu tahap awal, akan tetapi beban angsuran selama 3–5 tahun dapat menjadi masalah jika koperasi tidak segera menghasilkan keuntungan.
Tanpa strategi bisnis yang matang –seperti akses pasar yang terjamin atau diversifikasi usaha– koperasi berisiko gagal mandiri serta meninggalkan desa dengan utang dan aset yang tidak produktif.
Sejarah koperasi di Indonesia, seperti BUUD/KUD (badan usaha unit desa/koperasi unit desa) di era Orde Baru, menunjukkan bahwa gagasan serupa kerap kali mengalami stagnasi, bahkan gagal, akibat minimnya dukungan berkelanjutan dan ketidaksesuaian dengan orientasi kebijakan politik pemerintah.
Tanpa belajar dari masa lalu, Kopdes Merah Putih berisiko mengulang kegagalan serupa. (*)
*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: