Paradoks Empati terhadap Koruptor: Mempertaruhkan Logika Keadilan dan Moralitas Negara

ILUSTRASI Paradoks Empati terhadap Koruptor: Mempertaruhkan Logika Keadilan dan Moralitas Negara.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Korupsi melanggar prinsip keadilan Rawlsian karena memperkaya sebagian kecil orang dengan mengorbankan akses publik terhadap layanan dasar (pendidikan, kesehatan, dll).
Maka, pemiskinan koruptor bukan bentuk ketidakadilan, melainkan koreksi terhadap ketimpangan yang dibuatnya.
Jika anak-anaknya terdampak, Rawls mungkin akan melihat hal itu sebagai konsekuensi struktural dari tindakan tak adil orang tuanya, bukan sebagai bentuk ketidakadilan sistemik, selama tidak ada pelanggaran hak asasi mereka.
Etika utilitarianisme juga memberikan seperangkat nilai bahwa menghukum koruptor dengan cara memiskinkannya –walau berdampak pada keluarganya –dianggap adil jika memberikan efek jera, meningkatkan kepercayaan publik pada hukum, dan mengembalikan aset negara untuk kesejahteraan umum.
Apa pun itu, kesejahteraan keluarga koruptor tidak bisa diprioritaskan di atas penderitaan kolektif rakyat yang terkena dampak korupsi.
Hal itu sejalan dengan prinsip hukum progresif, jika pemiskinan koruptor secara hukum dapat mengembalikan rasa keadilan masyarakat, itu sah secara moral dan legal (Rahardjo, 2006).
Sebaliknya, jika hukum lebih peduli pada dampak ekonomi terhadap keluarga koruptor ketimbang memulihkan hak-hak sosial rakyat akibat korupsi, hukum tersebut tengah menjalankan fungsi yang ”netral secara moral” dan karenanya menjadi cacat secara keadilan substantif.
Artinya, jika hukum hanya melindungi keluarga koruptor atas nama HAM tetapi mengabaikan penderitaan publik, hukum itu perlu dikoreksi.
Maka, berkaca dari logika dan filosofi keadilan di atas, empati terhadap keluarga koruptor adalah bentuk false equivalence fallacy –seolah-olah penderitaan anak koruptor karena kehilangan fasilitas mewah setara dengan penderitaan anak-anak buruh, petani, dan rakyat yang harus terus menghadapi kemiskinan dan ketimpangan sktruktural.
Padahal, satu merupakan akibat sah dari hukuman atas kejahatan, sedangkan yang lain adalah hasil dari sistem yang dirusak.
Menyamakan keduanya adalah bentuk relativisme moral yang berbahaya dalam narasi kebijakan publik maupun logika bernegara.
Sekali lagi, narasi ”kasihan anak-istri koruptor” tidak hanya keliru secara logika dan moral, tetapi juga mencerminkan wacana keadilan yang menyimpang. Keadilan yang sejati tidak netral, ia berpihak kepada mereka yang dirugikan sistem.
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap amanat rakyat dan masa depan bangsa. Sebagai penutup tulisan ini, kita dapat merujuk Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom.
Sen menekankan bahwa keadilan tidak dapat dipisahkan dari kapasitas manusia untuk hidup layak dan bermartabat. Korupsi menghilangkan kebebasan substantif itu dari jutaan warga negara.
Maka, segala bentuk kebijakan antikorupsi, termasuk pemiskinan pelaku, harus dilihat sebagai upaya negara memulihkan hak asasi publik, bukan sebagai bentuk kekejaman terhadap pelaku dan keluarganya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: