Malam Paskah di Katedral Surabaya: Dari Api Baru hingga Terang yang Tak Padam

Romo mengarak lilin Paskah masuk ke gereja yang masih gelap, simbol terang Kristus. -Moch Sahirol Layeli-HARIAN DISWAY
Paskah bukan sekadar seremoni liturgi. Ia adalah pengingat, bahwa setelah gelap selalu ada terang. Setelah kematian, ada kehidupan. Dan setelah keraguan, selalu ada harapan. Malam itu, di tengah temaram lilin dan suara jemaat yang pulang perlahan, Surabaya punya satu terang baru yang menyala: di hati orang-orang yang percaya.
SURABAYA, HARIAN DISWAY – Malam terasa lebih sejuk dari biasanya. Bukan karena hujan atau angin malam, tapi karena ketenangan yang hadir perlahan di halaman Katedral Hati Kudus Yesus, Sabtu malam, 19 April 2025.
Umat Katolik dari berbagai penjuru kota Pahlawan berdatangan. Tua, muda, anak-anak, semuanya membawa lilin kecil—satu simbol sederhana yang malam itu menjadi tanda besar akan harapan dan kebangkitan.
Inilah Malam Vigili Paskah. Malam yang disebut sebagai "induk dari segala malam suci." Liturgi yang paling kaya makna dalam kalender Gereja Katolik. Malam itu dimulai dengan lonceng, lalu disusul dengan kegelapan saat semua lampu dimatikan. .
Tidak dibuka dengan lantunan syair pujian, tapi dengan api. Api baru yang menyala dalam keheningan, di halaman gereja yang gelap.
BACA JUGA:Pesan Paskah Gereja Hati Kudus Yesus Katedral Surabaya, Penuh Makna di Tahun Yubelium
BACA JUGA:Melangkah di Jalan Salib: Sejarah, Simbol, dan Makna Paskah
Lilin jemaat menyala satu per satu, menerangi ruang gereja dengan cahaya kekuningan. -Moch Sahirol Layeli-HARIAN DISWAY
Api itu menjadi lambang cahaya Kristus. Lilin Paskah yang besar dan tegak dinyalakan. Lalu diarak masuk melewati lorong Gereja oleh Romo secara perlahan. Para jemaat berdiri menyambut.
“Kristus, Cahaya Dunia,” ucap Romo dengan suara lantang namun tenang di tengah gereja yang nyaris gelap gulita.
“Syukur kepada Allah,” jawab umat serempak, membelah keheningan dengan suara yang penuh pengharapan.
Dari lilin besar itu, cahaya dibagikan ke para petugas liturgi. Lalu menyebar ke sudut-sudut gereja. Lilin-lilin kecil mulai menyala satu per satu. Suasana menjadi hangat. Cahaya kekuningan menari di wajah jemaat. Nyanyian Exsultet atau pujian Paskah dilantunkan, menggema lembut di antara pilar-pilar gereja.
BACA JUGA:Warga Kristen Palestina Rayakan Paskah Dengan Perasaan Was Was
BACA JUGA:Tri Hari Suci, Makna di Balik Kamis Putih, Jumat Agung, dan Malam Paskah
Bacaan Injil malam itu adalah Lukas 24:1-12. Menceritakan momen ketika perempuan-perempuan pergi ke kubur Yesus pada Minggu pagi. Hari kedua setelah Yesus disalib dan dimakamkan.
Para perempuan tersebut hanya menemukan bahwa batu besar penutup makam kudus telah terguling. Kubur kosong. Dan dua sosok malaikat berkata: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup di antara orang mati?”
Dalam homilinya, Romo Budi Hermanto menyampaikan makna Paskah sebagai perayaan kebebasan. Bukan kebebasan biasa, tapi kebebasan yang dianugerahkan oleh Tuhan yang Mahakuasa. Kebebasan dari dosa, dari kematian, dan dari kegelapan hidup.
“Paskah bukan cuma tentang Yesus yang bangkit, tapi tentang kita yang ikut dibangkitkan,” ujar Romo Budi. “Kita diajak untuk membawa cahaya itu. Menjadi terang bagi sekitar kita. Menjadi pribadi yang disucikan kembali, serta senantiasa berjalan ke arah Tuhan,” imbuhnya.
BACA JUGA:Mengenal Kamis Putih, Rangkaian Pra-Paskah Mengenang Peristiwa Penjamuan Terakhir
BACA JUGA:Tradisi - Tradisi Sebelum Perayaan Paskah dari Berbagai Belahan Dunia
Usai penyampaian homili, lilin-lilin dinyalakan kembali. Janji baptis dibarui. Umat menyatakan kembali iman mereka, dan Romo memercikkan air suci ke seluruh jemaat sebagai tanda pembaruan hati dan jiwa. Air yang bukan sekadar percikan, tapi simbol berkat dan pembersihan diri.
Para misdinar (pembantu Misa) lantas melangkah ke belakang umat, membawa bejana untuk mengisi air baptis. Sebuah prosesi kecil yang melambangkan kesiapan umat untuk menyambut kelahiran baru dalam iman.
Lalu tibalah pada puncak perayaan: pembagian komuni. Jemaat maju satu per satu, menerima tubuh Kristus dengan tenang. Momen hening namun dalam. Tidak ada kata-kata. Hanya wajah-wajah yang tunduk dalam syukur.
Ketika misa usai, suasana gereja terasa berbeda. Bukan lagi hanya cahaya lilin yang menerangi ruangan, tapi cahaya yang terasa tumbuh dari dalam. Dari dada yang lega. Dari hati yang tenang. Dari iman yang diperbarui.
(Dave Yehosua TB)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: