Ketika Media 'Mengadili' Profesi Dokter, Efek Buruk Generalisasi di Era Sensasi Berita

Ketika Media 'Mengadili' Profesi Dokter, Efek Buruk Generalisasi di Era Sensasi Berita

Ilustrasi dokter dan framing media.-OpenAI-OpenAI

Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan oknum dokter, seperti yang terjadi di RSHS Bandung dan Garut, menimbulkan kegaduhan publik. Di tengah maraknya pemberitaan mengenai dugaan kasus pelecehan seksual yang melibatkan tenaga medis tersebut, ada satu hal yang perlu kita cermati bersama, yaitu framing media yang menggeneralisasi profesi kedokteran, membentuk citra seorang dokter sebagai predator seksual.

Dengan adanya framing tersebut, masyarakat beranggapan bahwa profesi dokter tak lagi aman. Pasien menjadi was-was, terutama saat kondisi mereka tidak sadar sepenuhnya, misalnya saat dalam pengaruh bius di atas meja operasi. Framing semacam ini berbahaya karena merusak persepsi publik terhadap profesi kedokteran.

Tindakan pelecehan seksual memang sangat tidak pantas dan melanggar etika profesi. Perilaku ini patut dikecam dan sudah seharusnya dijatuhi hukuman setimpal. Namun, di sisi lain, kita juga perlu mengingat bahwa tidak semua dokter melakukan pelanggaran serupa.

Sayangnya, di berbagai berita online dan media sosial, kerap kali kita temui frasa negatif tentang dokter, seperti: "Dokter bejat!", "Dokter cabul!", atau "Tenaga kesehatan lakukan pelecehan seksual."

Pemakaian frasa negatif yang ditujukan pada profesi secara massif dan terus-menerus dapat membentuk opini publik yang menyudutkan profesi dokter secara keseluruhan.


Dr. dr. Hisnindarsyah. -Dok Pribadi-Dok Pribadi

Satu hal yang mesti kita pahami: pelaku adalah individu, bukan representasi dari seluruh profesi kedokteran. Kejahatan seksual tidak mengenal profesi atau jabatan. Generalisasi ini merugikan para dokter yang benar-benar menjalankan profesinya dengan integritas dan tanggung jawab.

BACA JUGA:Persatuan Dokter Obgyn Kecam Pelaku Pelecehan Seksual di Klinik Garut: Merusak Citra Profesi Dokter

BACA JUGA:Kasus Pelecehan Dokter di Malang Dilaporkan Polisi

Selain itu, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter bukan sekadar kesalahan pelaku secara individu, melainkan juga didukung oleh kelonggaran sistem. Contohnya, dokter dan karyawan bisa mengakses ruang pasien tanpa pengawasan yang memadai, penyimpanan obat bius yang kurang ketat, dan sebagainya.

Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa sistem juga berperan dalam memberi ruang bagi pelaku penyimpangan. Tetapi, mengapa yang dihakimi publik justru hanya institusi pendidikan dan profesi? Teori-teori seperti agenda setting dan framing, manufacturing consent, serta crisis exploitation dapat menjelaskan mengapa profesi dokter sering menjadi sasaran framing negatif.

Framing memilih sebagian aspek realitas dan menonjolkannya untuk membentuk interpretasi tertentu. Dalam kasus ini, interpretasi yang dibentuk adalah: profesi dokter sedang rusak, tidak bisa dipercaya, dan harus dikendalikan. Delegitimasi profesi menjadi justifikasi untuk transformasi sistem.

Framing semacam ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap tenaga medis, sehingga memengaruhi hubungan dokter-pasien dan pelayanan kesehatan secara umum. Dengan menyebarkan persepsi bahwa profesi dokter saat ini dipenuhi penyimpangan moral, pasien menjadi takut untuk melakukan pemeriksaan fisik, terutama pemeriksaan pada bagian tubuh yang sensitif.

Framing negatif juga memengaruhi pembuatan kebijakan terkait pelayanan kesehatan. Apabila tingkat kepercayaan semakin menurun, tidak menutup kemungkinan hal ini akan dijadikan alat politik oleh sekelompok orang untuk mengganti peran profesi dengan sistem, algoritma, dan protokol birokratis.

BACA JUGA:Dokter di Garut Diduga Cabuli Pasien saat Suntik Vaksin di Kos, Polisi Tetapkan Tersangka

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: