Korupsi Hakim, Subversi Negara Hukum, dan Penawaran Sistem Pidana Islam

ILUSTRASI Korupsi Hakim, Subversi Negara Hukum, dan Penawaran Sistem Pidana Islam.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Dua Hakim Pembebas Ronald Tannur Menyesal Merasa Gagal Menjadi Hakim
BACA JUGA:Refleksi Presiden Prabowo tentang Penegakan Hukum dan Beban Hakim
Hal tersebut akan menurunkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap negara hukum dan meningkatkan ketidakpuasan sosial.
Selain itu, seperti yang dijelaskan Maiwan (2023), ketidakadilan dalam vonis yang diberikan oleh hakim yang terlibat dalam korupsi tidak hanya merugikan pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, tetapi juga merusak sistem hukum secara keseluruhan.
Vonis yang bias atau ringan terhadap koruptor akan mengurangi efek jera dan memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.
Dalam sistem hukum yang baik, prinsip equality before the law harus dijaga dengan ketat. Namun, seperti yang dikemukakan Azhar et al. (2025), pelanggaran etika yang dilakukan hakim sering kali menodai prinsip itu, menciptakan ketimpangan dalam penegakan hukum.
Ketika hakim yang seharusnya menjadi pihak yang netral justru menjadi pelaku pelanggaran hukum, ketimpangan antara kelas sosial akan makin terasa.
Lembaga peradilan yang seharusnya memberikan rasa aman dan keadilan menjadi tempat yang penuh ketidakadilan. Hal itu memperburuk citra lembaga peradilan sebagai penjaga supremasi hukum dan keadilan.
Korupsi hakim juga dapat dilihat sebagai suatu bentuk subversi terhadap negara hukum. Subversi itu dapat merusak stabilitas sistem peradilan dan merusak fondasi dari negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan transparansi.
Dalam jangka panjang, korupsi hakim dapat memperburuk ketimpangan sosial, menambah jurang antara rakyat miskin dan mereka yang berkuasa, serta melemahkan struktur negara itu sendiri.
Untuk mengatasi masalah tersebut, solusi yang dapat diajukan adalah menerapkan hukum pidana Islam dalam konteks modern.
Hukum pidana Islam mengedepankan prinsip al-’adalah (keadilan), yang tidak hanya terbatas pada penegakan hukum positif, tetapi juga melibatkan dimensi moral dan spiritual.
Dalam perspektif hukum pidana Islam, seorang hakim yang melakukan korupsi akan dikenai sanksi yang lebih berat, tidak hanya berdasarkan pada hukum negara. Tetapi, juga pada hukum agama yang mengutamakan pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Junaidy (2022) mengemukakan bahwa penerapan hukum pidana Islam dalam kasus korupsi hakim dapat memperkuat moralitas para aparat penegak hukum.
Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan pengawasan yang lebih ketat terhadap hakim dan memberikan sanksi yang lebih tegas dan proporsional bagi mereka yang terlibat dalam praktik korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: