Kok Tega!

ILUSTRASI Kok tega. Gerutuan saya mengenai frasa ”kok tega” berubah menjadi rasa syukur. Tak banyak orang seperti Dahlan Iskan, sebagai CEO, yang memberikan tugas secara langsung kepada staf. -Arya-Harian Disway-
KIRA-KIRA bulan maret 2001, sebuah telepon masuk ke ponsel saya. Nomor tidak saya kenal. ”Kok, kamu tahu ada semacam tren menjadikan purnawirawan tentara berpangkat bintang sebagai komisaris perusahaan. Cari dan wawancara! Itu karena skill atau mau memanfaatkannya jadi beking bisnis,” ujar penelepon yang tidak saya kenal.
Saya membalas, ”Ini siapa?” Tentunya dengan nada ketus. Muncul suara balasan dari ujung telepon, ”Ini Dahlan. Pak Dahlan Iskan.” Singkat, padat, memunculkan anxiety.
Saya baru saja parkir motor saat itu. Menuju tempat sebuah konferensi pers. Pikiran saya sudah tidak tenang. Saya baru saja balik dari penugasan menjadi wartawan di Jakarta. Baru saja sebulan kira-kira kembali ke Surabaya. Lagi membangun kembali jaringan, tiba-tiba turun perintah tadi.
BACA JUGA:Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (1): Sukses Membesarkan, tetapi Bukan Pemilik Tunggal
Seperti biasa, kalau ada perintah dari Pak Dahlan, deadline-nya adalah kemarin. Saya hanya berucap dalam hati, kok tega. Nasib baik, dapat narsum yang tepat dan bersedia wawancara.
Begitulah Pak Dahlan. Spontan, disiplin, taktis. Benar-benar sosok keturunan Jawa yang berbeda. Orang Jawa pada umumnya memiliki budaya komunikasi high context dan high power distance.
Biasanya memilih dulu kata yang tepat dan tidak memberikan perintah secara langsung, terutama kepada wartawan yang tergolong baru seperti saya, tetapi melalui perantara. Misalnya, redaktur saya.
BACA JUGA:Jawa Pos Adalah Monster
BACA JUGA:Suatu Hari… di Jawa Pos
Namun, Pak Dahlan berkali-kali kasih perintah langsung ke saya. Dan, level perintah untuk bikin beritanya kerap di luar nalar. Pernah saya diminta wawancara Pak Hermawan Kartajaya karena disuruh Pak Dahlan. Perintahnya, tulisannya harus unik. Sekali lagi, saya bergumam, kok tega!
Pak Hermawan kala itu sangat laris sebagai pembicara dan jarang ada di Surabaya karena keliling terus. Nasib baik, saya dapat bertemu beliau 15 menit setelah menjadi pembicara. Saya mencari info tambahan saat beliau muda dan kuliah pindah-pindah.
Saya bikin drama dalam tulisan bahwa Pak Hermawan yang hebat itu dulu pindah-pindah kampus dan bukan tergolong pengejar nilai. Menulisnya agak takut-takut karena Pak Dahlan bersahabat dengan Pak Hermawan.
BACA JUGA:Kuasa Hukum Bantah Dahlan Iskan Ditetapkan Tersangka oleh Polda Jatim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: