Sound Horeg dan Budaya Kitsch: Jedag-jedug pun Perlu Ditata

ILUSTRASI Sound Horeg dan Budaya Kitsch: Jedag-jedug pun Perlu Ditata.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Perjalanan panjang itulah yang sering luput dibaca, bisa jadi kehadiran sound horeg itu bukan sekadar hiburan norak, tapi reaksi atas ruang publik yang menyempit dan kebutuhan katarsis kolektif.
Fenomena sound horeg sering dimaknai sebagai luapan kreativitas masyarakat akar rumput. Sebagai sebuah ritual musik kontemporer, dentuman jedag-jedug menawarkan ruang ekspresi yang sulit didapat di ruang publik formal.
Penelitian menunjukkan bahwa musik yang dimainkan keras-keras dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan kohesi sosial karena peserta mengalami ”rasa tak sendiri, sensasi kebersamaan, dan senasib sepenanggungan”.
BACA JUGA:MUI Jatim Minta Ada Pergub untuk Sound Horeg: Tidak Dilarang, Hanya Ditertibkan
BACA JUGA:Petik Laut Tanpa Sound Horeg
Dalam konteks budaya masyarakat Indonesia, ”adu keras” suara seakan sudah biasa. Mulai acara mantenan di pinggir jalan dengan musik menggelegar sepanjang malam berhari-hari hingga pemanfaatan pengeras suara di ruang ibadah yang kerap menimbulkan pergesekan sosial di masyarakat.
Dalam konteks ini, sound horeg sesungguhnya tak berbeda. Seperti ”adu keras” lainnya, sound horeg mulai berbenturan dengan peraturan sosial dan tuntutan modernitas.
KITSCH: RASA BERSALAH YANG NIKMAT
Ada yang melihat fenomena itu justru dapat dilihat sebagai sebuah perlawanan. Perlawanan yang lahir dari sebuah ketimpangan sosial, bukan dalam arti gerakan revolusi, melainkan sebagai estetika tandingan budaya kelas atas yang elegan.
BACA JUGA:Fatwa Haram Sound Horeg Resmi Dikeluarkan MUI Jatim
BACA JUGA:Fatwa Haram Sound Horeg Jadi Perdebatan, MUI Jatim: Ada Aspek Moral dan Kesehatan
Ketika hiburan musik tertentu dinikmati secara eksklusif oleh kaum kelas atas, mereka yang termarginalkan menciptakan panggungnya sendiri. Saat alunan musik jedag-jedug menggema, ia sering kali dianggap norak, tidak berkelas, dan tidak pantas.
Namun, bukankah kita pernah mengalami masa musik jedag-jedug pada tahun 1980-an dengan label musik remix yang juga menjadi komoditas industri musik yang dikendalikan kapitalisme budaya.
Sound horeg yang kerap diidentikkan pada sekelompok manusia dengan sumber daya yang rendah, kampungan, dan sejenisnya mengarahkan pada kategorisasi kitsch yang didefinisikan oleh para teoretikus budaya sebagai bentuk ekspresi rendahan, tidak murni, dan terlalu popular untuk dianggap sebagai seni.
BACA JUGA:Batsul Masail Ponpes seJawa dan Madura Fatwakan Sound Horeg Haram Mutlak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: