Rojali dan Rohana: Muasal dan Implikasinya

Rojali dan Rohana: Muasal dan Implikasinya

ILUSTRASI Rojali dan Rohana: Muasal dan Implikasinya.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Itulah yang kemudian membuat istilah tersebut muncul sebagai ejekan dan sindiran. Sebab, banyak pihak yang merasa dirugikan. Sebut saja para tenaga penjual, mereka sudah lelah bekerja untuk menjelaskan produk kepada calon konsumen, berujung tidak mendapatkan komisi karena barangnya tidak jadi dibeli. 

Beberapa gerai di mal bahkan memilih untuk tutup dan mengakhiri kontrak kerja dengan pegawainya karena sepinya pembeli. Sebetulnya, hal itu tidak serta-merta menjadi salah rojali dan rohani. Namun, memang ada perubahan perilaku konsumen di era digital.

POLITIK RUANG DAN VALIDASI SOSIAL

Dari perspektif politik ruang, tata letak, fasilitas, dan desain mal sengaja dirancang untuk membuat pengunjung betah sekaligus mendorong mereka mengikuti standar tertentu, seperti tampil rapi, wangi, tertib, dan sesuai tren. 

Dengan suasana seperti itu, mal menjadi arena validasi sosial, tempat orang menampilkan citra terbaiknya meski tidak selalu melakukan pembelian. 

Di era digital, validasi sosial menjadi penting, tetapi penurunan daya beli membuat orang harus mengatur strategi. Kunjungan ke mal memfasilitasi hal tersebut. Orang bisa tetap hadir di ruang yang modern, tetapi tanpa transaksi yang menegaskan status ekonomi. Itu hal yang ironis. 

Di satu sisi, mal dapat membentuk identitas dan status sosial. Di sisi lain, mal menjadi panggung yang merefleksikan kerentanan ekonomi masyarakat. 

Kesulitan ekonomi sering tergambar dari ramainya pengunjung mal, tetapi hanya sedikit yang membawa pulang belanjaan. Tempat parkirnya penuh, tetapi tidak ada satu pun tenant yang ramai pembeli. 

Beberapa tenant baru bisa saja ramai karena banyak yang FOMO (fear of missing out), kemudian sepi setelah beberapa bulan. Jadi, rojali dan rohana bukan sekadar istilah kocak di media sosial, melainkan juga cermin muram dari kondisi ekonomi masyarakat. 

REFLEKSI SPIRITUALITAS

Sekalipun rojali dan rohana kerap dipandang negatif, menjadi bagian dari kelompok itu bukanlah hal yang salah atau memalukan. Banyak faktor yang mendorong masyarakat untuk berjalan-jalan di mal tanpa berbelanja. 

Pada dasarnya, semua orang memiliki hak yang sama untuk menikmati ruang publik seperti mal, terlepas dari membeli atau tidak. Aktivitas itu bukan kejahatan meski sering kali dilekatkan stereotipe sebagai kelompok dengan daya beli rendah. 

Justru ramainya mal menunjukkan bahwa masyarakat tetap mencari kebahagiaan dan interaksi sosial di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Oleh karena itu, hiburan gratis di mal tanpa membeli apa pun masih berada dalam batas norma kepantasan. 

Fenomena itu memperlihatkan kekuatan, ketabahan, dan integritas sosial di tengah tekanan. 

PELUANG ATAU TANTANGAN?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: