STKW dan Dua Dekade Perjuangan Meraih Status Negeri (4): Eksis dalam Bayang-Bayang Ketidakpastian

STKW dan Dua Dekade Perjuangan Meraih Status Negeri (4): Eksis dalam Bayang-Bayang Ketidakpastian

Gedung STKW. Kampus itu memiliki gedung dan fasilitas memadai. Namun, mereka hingga kini berada di bawah bayang-bayang ketidakpastian.-Giustino Obert Lisangan-HARIAN DISWAY

Namun, meski terbatas, STKW tak berhenti berkembang. Program utama mereka saat ini adalah penegerian.

Dan untuk mempertahankan syaratnya, mereka gencar menjalankan program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. 

BACA JUGA:STKW Surabaya, Kampus Seni, Prosesi Wisudanya pun Nyeni

Salah satu upaya strategisnya adalah mendorong dosen untuk menempuh jenjang doktoral. Saat ini, tiga dosen sedang menjalani program S3. Ada yang di ISI Surakarta, UNAIR, dan ISI Yogyakarta. 

Dukungan finansial dari kampus terbatas (hanya separuh SPP selama empat semester). Kendati demikian, semangat untuk meningkatkan kualitas tak pernah padam.

Fasilitas di STKW, jika dilihat dari standar akreditasi, tergolong lengkap dan fungsional. Untuk jurusan Seni Rupa, mereka memiliki studio indoor dan outdoor. Termasuk studio lukis, grafis, patung, dan keramik. 


Nuzurlis Koto di studio seni keramik STKW. Ia merupakan dosen senior yang masih mengajar hingga kini.-Giustino Obert Lisangan-HARIAN DISWAY

BACA JUGA:Tujuh Alumni STKW Angkatan ’97 Menyatukan Atmosfer dalam Rindu

“Saya sedih. Saya kecewa berat. Kami jelas butuh status negeri. Dari dosen dan kurikulum kami sudah siap. Tapi, kenapa proses penegeriannya bisa terlalu lama?” ujar Nuzurlis Koto, dosen senior STKW yang telah berusia 79 tahun. Meski sepuh, hingga saat ini ia masih mengajar dan berkarya.

Lalu, studio tari dilengkapi Pendopo Agung dan ruang ganti khusus. Di bidang karawitan, ada studio kedap suara dan ruang gamelan.

Sementara untuk Teater, mereka memiliki amphitheater internal yang dilengkapi AC, lighting, dan sistem pencahayaan standar pertunjukan.

BACA JUGA:Profil Agus ’’Koecink’’ Sukamto, Dosen STKW yang Juga Seniman Top

“Amphitheater tersebut dibangun sekitar 2017-2018, hasil bantuan pemerintah,” jelas Mufi. Program Teater memang relatif baru.

Diinisiasi karena kebutuhan akan pelestarian ludruk dan berbagai pementasan tradisi warisan budaya Jawa Timur yang terancam punah. “Kami punya tanggung jawab agar jati diri Jawa Timur tetap hidup,” tegasnya.

Ironisnya, fasilitas yang dibangun dengan bantuan pemerintah justru tidak menjadi milik STKW. Semua aset tetap berada di bawah kendali Pemprov. Hal itu membuat kampus rentan secara hukum dan administratif. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway