Mens Rea dan Keadilan: Menelisik Niat di Balik Kasus Kuota Tambahan Haji 2024

ILUSTRASI Mens Rea dan Keadilan: Menelisik Niat di Balik Kasus Kuota Tambahan Haji 2024.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Namun, jika pembuat kebijakan sadar bahwa keputusannya bertentangan dengan hukum dan tetap melakukannya untuk keuntungan tertentu, unsur mens rea terpenuhi (Roberts & Zuckerman, 2010).
BACA JUGA:Korupsi Kuota Haji, KPK Periksa Tiga Pejabat Kemnag
BACA JUGA:KPK Selidiki Dugaan Korupsi Kuota Haji di Kementerian Agama
Dalam konteks tata kelola pemerintahan, pengujian mens rea pada pembuat kebijakan dapat menjadi alat evaluasi akuntabilitas publik (Peters & Pierre, 2016).
KASUS KUOTA TAMBAHAN HAJI 2024
Terkait kasus tambahan kuota haji sebanyak 20.000 dari Arab Saudi pada musim haji 2024 yang dibagi 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus, yang berbeda dari amanat UU Nomor 8 Tahun 2019 yang menetapkan proporsi 92:8, maka muncul pertanyaan hukum.
Apakah perubahan itu semata kesalahan administratif? Apakah murni diskresi untuk kepentingan pelayanan jamaah? Atau, terdapat niat tertentu yang bertentangan dengan hukum?
Jika ada kesadaran bahwa kebijakan itu melanggar undang-undang dan dilakukan demi keuntungan pihak tertentu, mens rea dapat dikatakan ada. Jika tidak ada niat jahat, secara pidana mens rea tidak terpenuhi walaupun ada actus reus dalam bentuk pelanggaran norma administratif.
DISKRESI MENTERI AGAMA DAN IMPLIKASI HUKUMNYA
Dalam hukum administrasi negara, diskresi adalah kewenangan mengambil keputusan di luar aturan baku untuk kepentingan umum (UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pasal 1 angka 9).
Namun, diskresi harus memenuhi syarat yang meliputi: tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dilakukan untuk kepentingan umum, dan dilaksanakan secara proporsional (Hernowo, 2019).
Kasus kuota tambahan haji 2024 menimbulkan pertanyaan: apakah pembagian kuota cukup diatur melalui surat keputusan (SK) menteri atau seharusnya dituangkan dalam peraturan menteri (permen) yang diundangkan di lembaran negara?
Berdasar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perubahan substansial terhadap pengaturan yang diatur dalam undang-undang harus dituangkan dalam peraturan perundangan yang setingkat atau di bawahnya sesuai hierarki, yaitu peraturan menteri (permen). Permen harus mendapat pengesahan menteri hukum dan diundangkan dalam berita negara agar berlaku sah (Maria Farida, 2017).
SK menteri, secara hukum, hanya bersifat beschikking atau keputusan konkret individual, bukan norma umum yang mengubah proporsi pembagian kuota.
Karena itu, jika proporsi kuota 92:8 diubah menjadi 50:50, secara teori hukum administrasi, hal itu semestinya diatur dalam permen, bukan dengan SK. Jika dilakukan hanya dengan SK, terdapat risiko ultra vires atau tindakan di luar kewenangan formal (Ridwan HR, 2020).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: