Salsa, DPR, dan Tren Baru Aspirasi Publik: Dari Jalanan ke Arena Debat

Salsa, DPR, dan Tren Baru Aspirasi Publik: Dari Jalanan ke Arena Debat

ILUSTRASI Salsa, DPR, dan Tren Baru Aspirasi Publik: Dari Jalanan ke Arena Debat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

PEKAN INI publik Indonesia menyaksikan sebuah fenomena unik. Seorang diaspora muda bernama Salsa Erwina Hutagalung, lulusan terbaik UGM dan juara debat internasional, berani menantang anggota DPR RI Ahmad Sahroni untuk berdebat terbuka mengenai isu tunjangan DPR.

Tantangan itu muncul setelah Sahroni menyebut seruan pembubaran DPR sebagai ”tolol sedunia”.

Sekilas, peristiwa itu mungkin tampak remeh alias sekadar polemik di media sosial. Namun, jika dicermati lebih dalam, ia adalah cermin dari krisis legitimasi DPR sekaligus penanda lahirnya tren baru aspirasi publik di era digital.

BACA JUGA:Tegas! Partai NasDem Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR

BACA JUGA:Penjarahan Rumah Ahmad Sahroni: Mobil Mewah Hancur, Warga Gempar

DPR DAN KRISIS KEPERCAYAAN PUBLIK

Pekan terakhir bulan Agustus 2025, gelombang protes terhadap DPR kian masif. Di Jakarta, ribuan mahasiswa, buruh, dan driver ojek online turun ke jalan menolak tunjangan rumah Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR. 

Aksi serupa meletus di berbagai daerah, menegaskan adanya jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan wakilnya.

Data survei memperkuat fenomena itu. Indikator Politik Indonesia (2025) menempatkan DPR di posisi kedua terbawah dalam hal kepercayaan publik, hanya unggul sedikit daripada partai politik. 

BACA JUGA:Ijazah Sahroni Bocor, Nilai Rata-rata SMP Cuma 6

BACA JUGA:Daftar Barang-Barang yang Dijarah Warga dari Rumah Ahmad Sahroni Dijarah, Dari PS 5 hingga Pakaian Dalam

Lembaga riset Formappi menegaskan bahwa publik menilai DPR gagal menjalankan fungsi representasi dan lebih sibuk mengurus kepentingan internal.

Kondisi itu bukanlah kebetulan. Dalam kajian Easton (1975) tentang legitimasi politik, kepercayaan publik adalah ”modal sosial” yang menentukan keberlangsungan lembaga demokrasi. 

Ketika kepercayaan itu runtuh, legitimasi ikut tergerus. Dalam konteks Indonesia, DPR menghadapi ”defisit legitimasi” yang berpotensi mengikis stabilitas politik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: