Salsa, DPR, dan Tren Baru Aspirasi Publik: Dari Jalanan ke Arena Debat

ILUSTRASI Salsa, DPR, dan Tren Baru Aspirasi Publik: Dari Jalanan ke Arena Debat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Dalam teori demokrasi deliberatif, Habermas (1996) menekankan bahwa kualitas demokrasi tidak diukur dari seberapa sering rakyat memilih, tetapi seberapa jauh ruang publik memungkinkan pertukaran argumen yang rasional.
Ketika anggota DPR menolak forum debat terbuka, mereka justru abai terhadap prinsip deliberasi yang menjadi jiwa demokrasi itu sendiri.
TREN BARU ASPIRASI PUBLIK: DARI JALANAN KE DEBAT
Fenomena Salsa juga menandai perubahan cara rakyat menyampaikan aspirasi. Selama puluhan tahun, ekspresi politik warga kerap diwujudkan melalui demonstrasi fisik: turun ke jalan, long march, atau aksi massa yang sering berujung ricuh.
Kini publik –khususnya generasi muda– menawarkan format baru: tantangan debat profesional. Aspirasi tidak lagi bergaya teriakan massa, tetapi argumentasi berbasis logika, data, dan bukti. Dalam konteks ini, Salsa mewakili transisi: dari demonstrasi fisik menuju ”demonstrasi intelektual”.
Penelitian Castells (2012) dalam Networks of Outrage and Hope menunjukkan bahwa era digital telah melahirkan bentuk baru gerakan sosial: lebih horizontal, berbasis jaringan, dan mengandalkan diskursus publik, alih-alih kekerasan fisik. Tantangan debat Salsa adalah manifestasi dari tren itu.
INSPIRASI DAN PELAJARAN
Fenomena itu memberikan beberapa inspirasi.
Pertama, setiap warga berhak bersuara. Demokrasi bukan monopoli pejabat, kritik bisa datang dari siapa saja, bahkan diaspora.
Kedua, diaspora adalah aset moral dan intelektual. Mereka bisa menjadi pengingat bahwa politik harus dijalankan dengan empati dan akuntabilitas.
Ketiga, generasi muda harus berani menyuarakan akal sehat. Aspirasi bisa disampaikan secara elegan: lewat debat, riset, dan argumentasi yang sehat.
Lebih jauh, peristiwa ini menyadarkan bahwa demokrasi kita tidak boleh berhenti pada formalitas prosedural, tetapi harus dirawat lewat diskursus publik yang terbuka.
PENUTUP
Fenomena Salsa adalah cermin bahwa demokrasi Indonesia sedang menghadapi krisis kepercayaan. Namun, ia juga memberikan harapan bahwa rakyat tidak tinggal diam. Mereka mencari cara baru: dari demo fisik ke debat publik, dari kerumunan ke argumen.
Bagi DPR, pesan itu jelas: dengarkan rakyat, buka ruang dialog, dan jangan pernah meremehkan suara publik. Sebab, demokrasi hanya bisa tumbuh jika ada keberanian pejabat untuk diuji, diperdebatkan, dan dikritisi dengan argumen yang sehat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: