Zakat dan Pajak

Zakat dan Pajak

ILUSTRASI zakat dan pajak. Keduanya memiliki persamaan dan perbedaan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Gubernur Khofifah Salurkan Rp 5,7 Miliar Bansos dan Zakat Produktif Di Kabupaten Blitar

Ibn Asyur, ahli fikih yang dikenal dengan konsep maqashid syariah (tujuan syariah), juga membenarkan adanya pungutan kepada kaum muslimin untuk kepentingan negara. 

Imam yang ditaati dan membutuhkan pasukan untuk melindungi wilayah kekuasaan yang luas, sedangkan kas negara kosong, dibolehkan memungut dari orang-orang kaya untuk memenuhi kebutuhaan negara. Boleh juga atas hasil panen dan lainnya. 

Syaratnya, pemimpinnya adil, tidak memberatkan, dan digunakan untuk kepentingan negara.

Sebenarnya penolakan terhadap pajak sudah sering kali terjadi. Namun, penyebabnya lebih pada banyaknya penyelewengan terhadap pajak, ketidakadilan pajak, dan pengenaan pajak kepada orang miskin, serta beratnya kewajiban pajak. Bukan karena pajak bertentangan dengan hukum Islam. 

INTEGRASI ZAKAT DAN PAJAK 

Meski jelas berbeda, zakat memang memiliki kesamaan dengan pajak.  Keduanya sama-sama merupakan transfer kekayaan dari sektor prifat ke sektor publik. Dari individu-individu –juga badan– kepada publik yang diwakili negara. 

Dari sisi fungsi, zakat dan pajak sama-sama merupakan alat redistribusi kekayaan untuk pemerataan, keadilan, dan kesejahteraan bersama. 

Karena memiliki kesamaan itu, sudah selayaknya zakat dan pajak diintegrasikan. Pembayaran zakat perlu diperhitungkan sebagai pembayaran pajak. Praktiknya, zakat menjadi pengurang pajak langsung (tax deductible) seperti di Malaysia. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak perlu khawatir bahwa penerapan zakat sebagai pengurang pajak langsung bakal menurunkan pendapatan pajak. Dalam contoh Malaysia, ternyata kebijakan itu sama-sama positif bagi pengumpulan zakat dan pajak. Zakat naik dan pajak juga naik. 

Hal itu, salah satunya, karena kebijakan zakat sebagai pengurang pajak langsung menjadi insentif menarik bagi muslim. Itu akan mendorong muslim untuk membayar zakat sebagai ketaatan kepada agama. 

Itu sekaligus mendorong ketaatan membayar dan melaporkan pajak karena bukti pembayaran zakat itu bermanfaat mengurangi pajak. Jadi, kebijakan tersebut menjadi insentif menarik bagi masyarakat. 

Di Indonesia, insentif yang diberikan pemerintah sangat kecil. Yaitu, diakuinya zakat sebagai pengeluaran yang akan mengurangi pendapatan bersih (deductible taxable income) sehingga pajaknya juga berkurang. 

Zakat menjadi pengurang pajak tidak langsung. Dengan penghitungan seperti itu, pengurangan terhadap pajak sangat kecil. 

Ilustrasinya seperti ini (dengan asumsi tarif pajak 25 persen dan zakat 2,5 persen). Seorang muzaki memiliki penghasilan sebelum pajak Rp400 juta, maka zakat yang dibayar Rp10 juta. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: